Akselerasi or Acceleration
Blog ini menyediakan berita-berita tentang kelas akselerasi yang menurut sebagian orang sangat "wah". Sebenarnya kelas aksel tidaklah yang seperti kita bayangkan, anak-anak yang pandai, kreatif, cerdas, dan sebagainya. Kita harus lebih memperhatikan psikologis anak-anak aksel dimana mereka seperti kehilangan hidup mereka. Hidup mereka hanya diisi dengan belajar dan belajar. Mari kita tengok realita yang ada.

Tinjauan Pakar Psikologi tentang Program Akselerasi

By wizardxboy

Rabu (6 Juni 2007), bertempat di auditorium Gedung Pusat UGM, Asmadi Alsa dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Psikologi UGM. Dalam pidato pengukuhannya, dosen yang telah mengajar sejak tahun 1977 ini mengangkat masalah program akselerasi SMA ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan.

Berbagai penelitian mengenai siswa unggul dan adanya program akselerasi di berbagai Negara yang berusaha mengakomodasi kebutuhan golongan siswa tersebut, diulas dalam pidato tersebut. Termasuk pula berbagai pro dan kontra mengenai dampak akselerasi dari berbagai aspek. Dimulai dari berbagai penelitian yang dilakukan pada beberapa SMA di Indonesia yang memiliki program akselerasi, guru besar baru Asmadi Alsa menyimpulkan beberapa hal, diantaranya bahwa siswa akselerasi memang memperoleh percepatan dalam hal perkembangan secara kognitif, namun tidak dalam hal afektif dan psikomotoris.

Namun begitu, aktivitas belajar yang padat dapat memacu siswa sehingga memiliki daya juang yang tinggi dalam belajar, karena memang tidak ditemukan adanya dampak negatif dari hal itu. Meski demikian, pemantauan pada semester awal menjadi amat penting dalam rangka melakukan tindakan lanjutan bagi siswa yang ditemukan memiliki potensi tidak cukup mampu melakukan penyesuaian diri dengan tuntutan program maupun juga lingkungan akademik dan sosial yang baru. Bagaimanapun, evaluasi terhadap program akselerasi di Indonesia harus terus dilakukan dari berbagai aspek. Keberhasilan akselerasi di Negara lain tidaklah dapat menjadi pegangan, mengingat kondisi demografis dan sosio-kultural yang berbeda.

Namun, dengan tekad seluruh pihak, terutama Departemen Pendidikan Nasional untuk mengakomodasi kebutuhan adanya pendidikan yang berkualitas bagi semua pihak, termasuk bagi para siswa unggul, semoga saja program akselerasi yang kini telah berjalan (dan kelak akan dikembangkan) dapat menghasilkan calon-calon pemimpin bangsa yang berintegritas tinggi.

Diambil dan disunting seperlunya dari: Artikel Fakultas Psikologi UGM

 

Bina Kelas Akselerasi, Dinas P dan K Gandeng Unair

By wizardxboy
Sunday, 16 December 2007
SURABAYA - SURYA
Keberhasilan program kelas akselerasi menarik minat sejumlah pihak untuk memberi warna agar 'kelas hero' yang bisa membuat siswa SMP dan SMA lulus dalam waktu dua tahun itu makin diminati siswa. Salah satu bentuknya, penandatanganan nota kesepahaman antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Jatim dan Fakultas Psikologi Unair untuk membina sekolah yang membuka kelas akselerasi, Sabtu (15/12).
Dekan Fakultas Psikologi Unair Dr Seger Handoyo mengatakan, lewat kerja sama dengan Dinas P&K Jatim ini pihaknya akan intensif melakukan pembinaan untuk mendorong terwujudnya kualitas pendidikan lewat kelas akselerasi. Selama tiga tahun ke depan, tiga sekolah di Jatim yang membuka kelas akselerasi dan akan dibina yaitu SMPN 1 Surabaya, SMAN 1 Sidoarjo, dan SMAN 1 Jember.
Bentuknya, pihak Unair akan membantu pelaksanaan tes psikologi, tes IQ, dan tes komitmen ketika seleksi siswa baru yang akan masuk kelas akselerasi hingga membuka konseling bagi siswa. “Selain itu, kami juga akan memberikan konsultasi, workshop dan lokakarya kepada guru yang mengajar kelas akselerasi,” ujar Seger usai penandatanganan MoU.
Khusus pembekalan kepada guru, oleh Seger dinilai cukup penting karena berperan penting mengarahkan, memotivasi, dan menjadikan anak-anak dengan kecerdasan istemewa itu tak hanya mampu di bidang akademik (intelektual) tapi juga nonakademik dan soft skill. “Artinya dengan beban siswa yang tinggi, guru kelas akselerasi harus bisa mengimbangi pelajaran yang diberikan dengan hal-hal yang sifatnya refreshing. Misalnya mengajaknya bermain dan kegiatan refresing lainnya,” jelas Seger.
Kepala Dinas P&K Jatim Dr H Rasiyo MSi mengatakan peran guru sangat vital untuk keberhasilan program kelas akselerasi. Kalau guru hanya mencekoki siswa dengan pelajaran terus-menerus tanpa membina psikologinya, siswa bisa berperilaku lain, misalnya punya sifat sok dan sombang atau merasa superior dan lebih pandai dibandingkan teman-temannya yang ada di kelas reguler. “Agar sifat sok tersebut tak muncul, guru harus punya kemampuan lebih untuk membimbing siswa kelas akselerasi,” tandas Rasiyo.
 

Kelas Akselerasi(Bag.2)

By wizardxboy

Nah, kita udah puas ngerasani siswa kelas akselerasi, gimana halnya dengan anak-anak reguler? What we have to do with them?
Gini loh, bu guru, setiap anak itu, mau dilabeli jenius atau tidak, sebenarnya kan telah dibekali talenta dari langit sana. Setiap manusia di cipta untuk tujuan tertentu, ada tugasnya. Lhah ya untuk ngejalanin tugas itu kan butuh tools, butuh skills. Perangkat itu sebenarnya sudah disematkan pada masing-masing diri. Cuma.. ya itu dia, talenta itu ibarat harta terpendam, kita nih, sebagai pendidik, ibarat pemburu harta karun. Harus punya peta, harus mau cape, dan harus punya keyakinan kalo emang harta karun itu ada pada diri anak-anak kita.
Namanya aja harta terpendam, pasti ga mudah dideteksi. Kadang butuh waktu lamaaa sekali sampe kemudian kita sadar tengah membesarkan seorang jenius. Ada timing dimana bakat tersebut baru muncul. Einstein, contohnya, semasa sekolah tidak pernah menunjukkan prestasi akademis. Begitu pula Thomas Alva Edison yang bahkan dikeluarkan dari sekolah karena kebanyakan melamun di kelas.
Pointnya, setiap pendidik harus membangun visi, musti punya kesadaran bahwa setiap anak itu mempunyai potensi yang luar biasa dalam dirinya, yang butuh di stimulasi, di gali, di fasilitasi, agar tumbuh, berkembang sesuai dengan tugas apa yang di embannya dari langit. Bisa dibayangkan betapa mengerikannya kalo para pendidik, tidak memiliki visi mengenai potensi Ilahiyyah ini. Anak hanya diperlakukan sesuai label, kategori yang kita lekatkan hingga si anak pun tumbuh dalam persepsi yang belum tentu benar tentang dirinya sendiri. Hiii… Coba deh, liat penilaian kualitatif di raport anak TK. Umumnya fokus pada kekurangan atau kelemahan anak, ananda A masih belum bisa konsentrasi, tidak mau menyelesaikan tugas, suka menganggu teman, membantah, bla-bla-bla. Kita, sebagai pendidik, jarang sekali melihat (variabel) masalah anak secara reflektif. Permasalahan seperti itu kan baru timbul saat mereka sekolah. Artinya ada treatment yang belum optimal yang bisa melihat/mendeteksi/mengangkat sisi positif anak. Sudah menjadi jadi tugas bu guru berjibaku mencari metoda yang paling pas untuk anak. Harus kepegang milestones, paham tahapan berpikir mereka sampai pada level apa, dan diatas itu semua, pendekatan yang tulus, yang penuh kasih sayang pada anak didik yang biasanya paling sukses melambungkan potensi anak agar berkembang optimal. Menurut saya, mendidik anak itu merupakan proses spiritual bagi guru.
Bayangkan bu, kita ketitipan anak sedemikian banyak dan harus memantau setiap perkembangan mereka, rasanya impossible ga sih? Kecuali dengan pertolongan Allah ta’ala, tentu saja.
Yang utama, bu, dari proses pendidikan itu adalah bagaimana menumbuhkan semangat belajar pada diri mereka. Nah, hanya saja yang harus kita pahami makna belajar itu apa bagi mereka? Ibu guru harus mengembangkan wawasan bahwa makna belajar itu tidak hanya duduk manis di kelas dan menghapal pelajaran. Sebagai guru musti peka akan kebutuhan masing-masing anak, mungkin ada yang tipikal slow-to-warm up, ada yang membutuhkan afeksi lebih dibandingkan anak lainnya, ada yang memang harus dengan pendekatan individual. Gali data mengenai karakter khas setiap anak dari orangtuanya. Setelah itu bu guru harus berani memilah kurikulum mana yang memang sudah sesuai dengan tingkatan mereka, -mau ndak mau harus baca teori perkembangan, kalo dirasa anak-anak masih sulit menangkap maksud dari suatu istilah, ya jangan dipaksakan, kalo perlu di-skip aja. Toh, kita melakukan ini juga berdasarkan konsep yang kita pegang. Ada teorinya dan secara data lapangan kita yang paling kenal kemampuan dan kebutuhan anak-anak didik kita. Buat apa menyampaikan sesuatu yang tidak dipahami, atau malah ga ada manfaatnya buat anak. Just wasting the time.
Bu guru, anak-anak kita butuh di pahami, bukan di cetak sesuai maunya kita, apalagi sesuai tuntutan kurikulum.

www.diannovi.com

 

Kelas Akselerasi(Bag.1)

By wizardxboy

Ini adalah kelas layanan bagi siswa berbakat istimewa atau jenius. Kategori siswa yang dapat menyelesaikan kurikulum lebih cepat dibanding siswa seusianya. SD di lampaui sekitar 4-5 tahun, SMP hanya 2 tahun, SMA demikian pula. Setelah itu? Have no idea..
Akselerasi berarti percepatan. Semakin cepat siswa dapat menyelesaikan materi, semakin jenius ia. Paradoksnya, Semakin lambat siswa menyelesaikan materi, apalagi kalo harus remedy, pertanda ga jenius, at least masuk dalam kategori siswa reguler. Itu premis yang saya pahami.
Apa iya begitu? Lets see..
But, first, tujuan pengadaan kelas akselerasi itu sendiri sebenarnya untuk apa, ya? kenapa harus mempercepat kelulusan siswa? Agar apa? agar lebih cepat mandiri secara ekonomi? Kalo ini yang jadi tujuan, mending kita set-up kurikulum yang lebih ringkas, tidak mesti menempuh 12 tahun masa sekolah. Jadi semua siswa, termasuk yang reguler juga bisa lulus cepat. Mudah-mudahan tidak hanya faktor ekonomi yang jadi pertimbangan seseorang untuk segera lulus..
Di ulas di awal, kelas akselerasi ditujukan bagi siswa berbakat istimewa alias jenius.
Next question: apakah mekanisme percepatan merupakan satu2nya alternatif pelayanan bagi gifted-student? Apakah ukuran kejeniusan seseorang hanya sekedar ditandai dengan cepatnya ia menyelesaikan sekolahnya?
Esensinya, sekolah menjadi sarana stimulasi bagi siswa untuk mengembangkan potensi istimewanya (hidden-treassure). Agar apa? pragmatically: agar memberi manfaat bagi masyarakat. Iya lah, wong ada orang cerdas tapi kok ndak membawa perbaikan, atau memberi manfaat bagi umat ya untuk apa..

Tapi apa mungkin ya kita mengharapkan kontribusi dari si anak cerdas ini kalo di sekolah ia hanya sekedar di tuntut untuk menyelesaikan soal-soal, memberi jawaban benar-salah sesuai petunjuk buku / instruksi guru, tanpa memberi ruang baginya untuk bereksplorasi diri.

Alangkah indahnya, bila siswa di tantang untuk melihat persoalan riil yang ada disekeliling dia dan kemudian membuat suatu project penyelesaian masalah. Persoalan yang diangkat tentu yang sesuai minat dia, entah dalam bidang sains, teknologi, atau sosial. Hasilnya bisa berupa praktek atau sekedar wacana, tentu berdasar observasi dan riset ilmiah. Dengan begitu, siswa jadi bisa mengenali apa yang menjadi interestnya, bisa mandiri dalam berpikir, sekaligus mengaplikasi ilmu yang telah ia pelajari.
www.diannovi.com
 

Quovadis Akselerasi di Tingkat Pendidikan Dasar

By wizardxboy
Wacana akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat menengah pernah menjadi wacana fenomenal dalam dunia pendidikan. Hampir berbagai media massa dari tingkat lokal sampai nasional pernah mempublikasikan tentang wacana tersebut. Berbagai argumentasi pro dan kontra seputar wacana akselerasi pendidikan pernah menghiasi hampir berbagai media baik cetak maupun elektronik.
Ada apa sebetulnya dengan akselerasi pendidikan? Akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan Depdiknas, yang tertuang dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Kepmendikbud nomor 0487/U/1992 untuk Sekolah Dasar.
Esensi dari program akselerasi pendidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa untuk mengikuti percepatan dalam menempuh pendidikannya. Untuk tingkat pendidikan dasar, siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menempuh pendidikannya selama 5 tahun, sedangkan untuk tingkat menengah SLTP dan SLTU siswa dapat menempuh pendidikannya selama 2 tahun.
Secara konseptual, program akselerasi ini cukup bagus relevansinya dalam pengembangan bakat dan kecerdasan anak, yaitu memberikan perhatian yang lebih kepada anak didik yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan yang luar biasa, sehingga mereka bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya secara luas. Tetapi secara praksis, program akselerasi memiliki kelemahan yang sangat signifikan. Pada tataran praksisnya, akselerasi cenderung berorientasi pada tingkatan kognisi saja.
Untuk di tingkat pendidikan menengah, implementasi program akselerasi ini mungkin tidak begitu bermasalah, karena sudah sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak. Tetapi sebaliknya, untuk di tingkat pendidikan dasar, implementasi program akselerasi masih perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Anak-anak yang berada di tingkat pendidikan dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dus, belum saatnya anak dipaksakan untuk berpikir seperti halnya orang dewasa.
Bloom mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembang-kan tiga kemampuan dasar, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut merupakan sebuah entitas integral yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan berdiri sendiri. Antara aspek yang satu dengan aspek lainnya saling berkaitan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan hanya akan dapat tercapai manakala ketiga aspek tersebut dapat diaplikasikan oleh guru secara seimbang dalam proses belajar mengajar.
Berkaitan dengan program akselerasi, mau tidak mau anak didik kita dipacu untuk terus mengejar "nilai". Agar anak didik dapat mendapatkan nilai yang "baik", guru dituntut untuk dapat menyampaikan materinya pada anak didik dengan metode yang tepat dan singkat. Itupun ditambah dengan adanya pelajaran tambahan yang diharapkan dapat membantu anak didik agar nilainya tetap stabil di samping dapat mengejar materi pelajaran agar tidak tertinggal.
Realitas ini mengindikasikan bahwa akselerasi hanya berkutat pada tataran kognisi. Sehingga dalam konteks ini, anak didik yang tingkat kognisinya lemah akan tertinggal, sebaliknya anak didik yang tingkat kognisinya kuat akan melaju terus. Akselerasi tidak bisa melihat "prestasi" anak didik yang sebenarnya, karena prestasi yang sudah ada didapat melalui suatu "perampasan" terhadap hak-hak anak didik.
Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar anak didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada "perampasan" hak-hak anak didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini pada akhirnya berakibat pada teralienasinya dan termarjinalkannya anak didik dari lingkungannya.
Anak didik tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan dunianya atau dengan lingkungannya tentang, bagaimana menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, mengendalikan nafsu dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan masalah emosionalnya. Padahal semua yang berkaitan dengan masalah emosional sangat penting sekali bagi seseorang apabila ia ingin berhasil. Aspek kemampuan kognisi saja tidak cukup bagi seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh aspek kecerdasan kognisi saja, tetapi aspek kecerdasan emosional memegang peranan yang sangat penting. Menurutnya intelektualitas tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa disertai dengan kecerdasan emosional.
Antara kecerdasan kognisi dan kecerdasan emosional merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dalam membentuk keberhasilan seseorang. Akan tetapi, ketika aspek kognisi lebih dominan dalam praksisnya, maka pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita relevansinya dengan program akselerasi adalah mau dibawa kemana anak-anak kita yang berada di tingkat pendidikan dasar?
Pertanyaan ini patut kita cermati dan renungi, bagaimanapun juga akselerasi tidak membuat anak didik memiliki prestasi yang matang sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak, sebaliknya akselerasi telah melahirkan sebuah fenomena baru dalam dunia pendidikan kita, yaitu lahirnya prematurisme pendidikan. Lebih tragis lagi, ungkap Suyanto, model pendidikan "karbitan" seperti akselerasi sebenarnya akan menuai limbah pendidikan yang pada hakikatnya sungguh amat kontraproduktif dan bahkan juga kontraedukasi.
Oleh:
Ilman Soleh, SS
Guru di SD Muhammadiyah Sapen
11 Januari 2007
 

Orang Tua Anak Cerdas Istimewa Dukung Tiadakan Kelas Akselerasi

By wizardxboy

JAKARTA, KOMPAS -Kelas akselerasi dirasakan belum mampu memenuhi layanan pendidikan yang dibutuhkan anak-anak cerdas istimewa untuk bisa mengoptimalkan potensi diri mereka secara keseluruhan. Pendidikan eksklusif yang menekankan kemampuan kognitif ini dikhawatirkan justru membuat anak-anak cerdas istimewa ini tidak mampu untuk mengembangkan kemampuan emosional dan kreativitas yang dibutuhkan untuk bisa berkarya dan hidup dalam masyarakat.

"Kelas akselerasi yang ada sekarang ini cuma pemadatan waktu sehingga anak cerdas istimewa bisa menyelesaikan pendidikan lebih cepat. Pendidikan seperti ini tidak merangsang anak untuk bisa mengenali potensinya dan bersosialisasi. Kami tidak ingin pendidikan akselerasi seperti sekarang ini terus dijalankan buat anak-anak gifted atau anak cerdas istimewa," kata Rachmat W Adi, Ketua Yayasan Adhi Purusa (Perkumpulan Orang Tua Anak Cerdas Istimewa) di Jakarta, Minggu (25/11).

Julia Maria van Tiel, pembina mailinglist orang tua anak cerdas istimewa anakberbakat@yahoogroups.com, mengatakan dalam perkembangan pendidikan anak-anak cerdas istimewa di dunia saat ini, kelas akselerasi justru mulai ditinggalkan. Pendidikan semakin mengarah ke inklusif, di mana anak-anak yang memiliki keragaman potensi dan kondisi belajar bersama. "Pendidikan sekarang dilakukan dengan pendekatan adaptif, di mana materi pendidikan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi murid," jelas Julia.

Untuk pendidikan anak-anak cerdas istimewa, papar Julia, disediakan kurikulum berdiferensiasi. Maksudnya supaya meningkatkan motivasi belajar anak didik, menghindari kebosanan dalam menempuh pelajaran, dan membuat perkembangan anak menjadi lebih baik.

Anak-anak ceras istimewa yang belajar di kelas bersama anak-anak lainnya, bisa diberi layanan pendidikan tambahan dengan pengkayaan berupa tawaran ekstra materi pelajaran untuk pendalaman dan perluasan. Cara lainnya dengan pemadatan atau pemampatan materi pelajaran reguler, paruh waktu dalam kelompok plus atau kelompok plus dengan memberikan ekstra aktivitas atau program yang menantang khusus untuk anak-anak cerdas istimewa.

Kebijakan lainnya adalah dengan percepatan, yaitu berupa lompat kelas. Untuk kebijakan ini perlu pertimbangan mengenai kematangan sosial emosional, kapasitas intelektual, prestasi, adanya lompatan perkembangan didaktik, persetujuan orang tua, dan penerimaan guru.

 

Kelas Unggulan dan Akselerasi, Sebuah Tragedi

By wizardxboy

PROSES penerimaan siswa baru baik di tingkat SD, SLTP maupun SMU segera digelar. Bahkan sudah ada sekolah tertentu yang mendahuluinya. Proses penerimaan siswa tersebut akan segera dilanjutkan dengan penataan kelas sesuai dengan kemampuan peserta didik.

Ada sekolah yang menerapkan pola kelas unggulan dan akselerasi. Namun pola-pola semacam itu hingga detik ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli pendidikan.
Adalah Prof Suyanto -Rektor Universitas Negeri Yogyakarta- dengan tegas menyatakan pengelompokan siswa secara homogen berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas superbaik, amat baik, baik, sedang, kurang, sampai ke kelas “gombal”, tidak memiliki dasar filosofi yang benar.

Yang memprihatinkan, pengelompokan itu disertai program promosi dan degradasi. Siswa yang tidak mampu mempertahankan prestasi akademiknya bisa digusur dari kelas superbaik ke kelas sedang. Bahkan mungkin bisa meluncur ke kelas paling bawah, kelas “gombal”.

Secara psikologis, program yang mendiskriminasikan siswa bisa menimbulkan stigmatisasi pada siswa di kelas “gombal”. Mereka akan kehilangan rasa percaya diri.

Di pihak lain, siswa yang masuk dalam kategori kelas superbaik memiliki kecenderungan arogan, elitis, dan eksklusif. Pendek kata, pengelompokan siswa lebih banyak sesatnya dari pada manfaatnya.

Dalam proses pembelajaran, pengelompokan juga akan menumbuhkan perilaku instruksional yang bias dari guru kepada anak didiknya. Di kelas superbaik, guru bisa tampil penuh gairah karena munculnya fenomena positive hallow effect terhadap anak-anak berotak brilian. Sebaliknya, di kelas “gombal” guru cenderung masa bodoh akibat munculnya fenomena negative hallow effect terhadap kelompok siswa berotak pas-pasan.

Jika program itu terus dipertahankan, justru akan terjadi proses dehumanisasi secara sistematik di sekolah, karena tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang bercorak heterogen.

Penyubur Mediokritas
Namun, pendapat Prof Suyanto tidak sepenuhnya diamini oleh kelompok yang pro kelas unggulan. Prof Liek Wilardjo -fisikawan dari UKSW- justru berpandangan sebaliknya. Menurutnya, anak-anak berbakat dan berotak cemerlang perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka dapat menumbuhkembangkan talenta dan kecerdasannya.

Jika anak-anak berakat dijadikan satu dengan anak-anak yang lamban, mereka akan kehilangan semangat belajar karena jenuh dengan proses pembelajaran yang lamban. Sebaliknya, anak-anak yang kurang pandai akan mengalami kerepotan jika dibiarkan bersaing dengan siswa-siwa pintar.

Kelas heterogen justru akan mempersubur mediokritas, di mana anak-anak cemerlang tidak bisa mengembangkan talenta dan kecerdasannya, mengalami stagnasi dan pemandulan intelektual. Sementara anak-anak lamban hanya “jalan di tempat”.

Kekhawatiran bahwa siswa yang masuk dalam kelas “gombal” akan dihinggapi rasa minder dianggap terlalu berlebihan, karena baru berdasarkan asumsi yang belum diuji kebenarannya. Pengelompokan siswa lamban di dalam kelas tersendiri - seperti halnya yang terjadi di Inggris - justru diyakini dapat memudahkan penanganannya secara khusus.
Pandangan Prof Liek Wilardjo senada dengan Conny R Semiawan (1992) tentang perlunya pengembangan kurikulum berdiferensiasi, di mana peserta didik yang berkemampuan unggul perlu mendapatkan perhatian khusus.

Menurut Prof Conny, kurikulum berdiferensiasi dapat mewujudkan seseorang sesuai dengan kemampuan yang ada padanya, dapat menghadapi masalah dan kompleksitas kehidupan yang berubah akibat peningkatan teknologi dan perubahan nilai-nilai sosio-kultural.

Pro-kontra tentang kelas unggulan semakin menarik disimak ketika belakangan ini juga muncul program yang hampir sama, yaitu kelas akselerasi, di mana anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi bisa menamatkan belajarnya lebih cepat. Misalnya, SLTP/SMU bisa ditempuh hanya dua tahun.

Persoalannya, apakah program kelas unggulan atau akselerasi mampu mendongkrak mutu SDM kita yang dinilai masih berada pada aras rendah? Apakah ada jaminan, anak-anak berotak cerdas yang jumlahnya hanya beberapa gelintir yang telah sukses menempuh program kelas unggulan, atau akselerasi mampu menjadi generasi cerah budi yang memahami dinamika hidup yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya? Jangan-jangan program kelas unggulan itu dibentuk hanya berdasarkan sikap latah.

Ingin meniru pendidikan gaya Barat, Inggris misalnya, dengan dalih untuk meningkatkan mutu SDM dan daya saing bangsa di tengah-tengah percaturan global, tanpa disesuaikan dengan konteks sosial-budaya masyarakat kita.

Kalau ini yang terjadi, dunia pendidikan kita telah lepas dari lingkaran dan dinamika kehidupan kontekstual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Implikasinya, out-put yang dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah generasi-generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan hati nurani dan spiritual. Pada akhirnya justru membikin mereka menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat bagaikan “rusa masuk kampung”. Tidak memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.

Problem-problem eksistensi kita, menurut Anton Naben (2001), adalah krisis moral yang merambah hampir di semua lini kehidupan dengan segala dampaknya. Kita amat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual dan apresiasi tinggi terhadap nilai-nilai kejujuran, yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan. Yang menabur benih kerukunan bila terjadi silang sengketa, yang memberikan kepastian bila terjadi kebimbangan. Yang menegakkan kebenaran bila terjadi beragam bentuk penyelewengan dan kesesatan. Yang menjadi pembawa terang di tengah kegelapan hidup.

Saat ini, nilai-nilai kejujuran -meminjam istilah Abd. A’la (2002)- sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan. Budaya malu sudah nyaris hilang dari memori bangsa. Korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, dan sejenisnya marak terjadi di mana-mana. Perilaku keagamaan hanya sampai pada tataran ekstrinsik. Agama hanya dijadikan sebagai topeng untuk pencapaian kepentingan. Para elite pemimpin tidak bisa jadi teladan bagi anak-anak bangsa. Yang terjadi justru sebuah kebanggaan bila mereka mampu melakukan pembohongan publik sehingga terlepas dari jerat hukum yang mengancam mereka atas perbuatan korup yang telah dilakukan. Sementara itu di atas akar rumput, sentimen kesukuan dan etnis, anarkhisme yang dibungkus fanatisme keagamaan, main hakim sendiri, dan kekerasan lainnya menjadi adonan perilaku yang gampang disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pencerahan Peradaban
Dalam kondisi demikian, dunia pendidikan kita harus mampu memosisikan diri sebagai pencerah peradaban, menjadi media katharsis yang mampu memuliakan martabat kemanusiaan hakiki, di mana nilai-nilai kejujuran dan kesalehan hidup baik pribadi maupun sosial bersemayam dan bernaung dalam hati nurani bangsa. Sekolah harus mampu menjadi ikon masyarakat mini, yang menggambarkan suasana dan panorama hidup bermasyarakat multikultur, di mana anak-anak banyak belajar menginternalisasi dan mengapresiasi perbedaan dan heterogenitas dalam segala aspeknya. Dengan demikian, setelah terjun ke masyarakat, mereka bisa tampil inklusif, egaliter, tidak elitis, memiliki empati, dan tidak besar kepala. Hal ini tentu sulit dicapai jika anak-anak yang tengah menuntut ilmu di bangku sekolah dikelompokkan secara homogen, sehingga mereka tidak pernah memiliki kesempatan belajar memahami dan menghargai perbedaan dalam arti yang sesungguhnya.

Pengalaman menunjukkan pendidikan yang lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat materialis, ekonomis, dan teknokratis demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa seperti yang gencar diteriakkan dengan lantang pada masa Orde Baru kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti.

Yang kita khawatirkan, kelas unggulan yang mendewakan kecerdasan intelektual semacam itu hanya akan melahirkan tamatan pendidikan yang cerdas, pintar, dan terampil, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai. (33)
(Suara Merdeka, Selasa, 2 Juli 2002)

 

Kelas Akselerasi Belum Efektif ?

By wizardxboy

Sabtu, 24 November 2007



Kelas Akselerasi Belum Efektif ?
Pembelajaran Belum Berbasis Bahasa Inggris

Jakarta, Kompas - Kelas akselerasi yang dijalankan sejumlah sekolah belum efektif
menumbuhkan potensi dalam diri anak-anak berbakat karena hanya mengejar anak cepat lulus. Fasilitas-fasilitas lain yang mendukung kebutuhan anak dengan kecerdasan di atas- rata-rata dan bakat berbeda-beda ini belum sepenuhnya diperhatikan.
Perombakan model seperti yang diinginkan pemerintah belum dapat dilaksanakan.
Murid akselerasi masih belajar di kelas khusus. Pembelajaran juga tidak berbahasa
Inggris seperti yang diinginkan. Pembelajaran juga belum sepenuhnya berbasis teknologi informasi. Anggota staf pengendali mutu SMP Negeri 19, Jakarta, Hambali, Jumat (23/11), menjelaskan, hampir tidak ada perbedaan antara kelas reguler dan kelas akselerasi. Dari sarana ruang kelas, tenaga pengajar, sampai materi pelajarannya sama. Hanya, di kelas percepatan bahan pengajaran harus selesai lebih cepat.
Tuntutan itu menjadikan kelas khusus ini kurang efektif. Ia menyebutkan,
"Anak-anak agaknya terlalu lelah karena tugas yang bertumpuk. Tidak jarang mereka pulang sore." Sebagai indikator, Hambali menambahkan, nilai ujian akhir siswa di kelas akselerasi tak lebih tinggi dari siswa di kelas reguler unggulan. "Dalam daftar sepuluh besar, tahun ini hanya tiga yang dari kelas akselerasi, yang lain dari kelas reguler," ujar Hambali. Kesulitan pun ditemui guru ketika harus mempersiapkan materi pengajaran kepada siswa. Ahmad Subeki, pengajar Fisika di SMPN 19, mengakui kekurangan waktu dalam mempersiapkan bahan untuk mengajar. Di SMAN 70, perbedaan pelayanan antara kelas akselerasi dan reguler yang kentara ialah perbedaan kalender pendidikan. Murid kelas akselerasi juga diarahkan untuk jurusan IPA saja. "Anak lulus dalam waktu dua tahun," ujar Koordinator Program Percepatan/Akselerasi di SMAN 70 Jakarta, Risda Wahab.
Biasanya guru hanya mengajar esensinya. Murid harus belajar sendiri. Itu sebabnya, anak-anak kelas akselerasi disaring dengan tes IQ. Murid di kelas X akselerasi SMAN 70, misalnya, ber-IQ 125-129. Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Silviana Murni mengatakan, seharusnya sekolah yang membuka kelas akselerasi juga memberi fasilitas khusus. Misalnya, laboratorium khusus untuk siswa yang senang pelajaran tertentu. Siswa kelas VII akselerasi di SMPN 19 yang ditemui mengungkapkan keinginan mereka untuk lulus cepat. "Kalau materi, enggak ada yang beda dengan kelas lain. Kami hanya lebih cepat," ujar Astrid (12), ketua kelas khusus dengan IQ di atas 130. Di setiap kelas ber-AC dan disediakan satu komputer dan televisi. Nyaris tidak ada perbedaan dengan kelas lain, kecuali jumlah siswa. Astrid dan teman-temannya mengaku sering kewalahan karena banyaknya tugas sekolah. Ny Hermin, orangtua dari murid akselerasi kelas X SMAN 70, mengatakan, putranya siap masuk kelas akselerasi karena sudah terbiasa mandiri. "Ketika pindah sekolah di Jepang karena perbedaan sistem pendidikan, anak saya turun satu tingkat. Ketika kembali, ia senang sekali ada kelas akselerasi," katanya.
 

KELAS AKSELERASI DIUBAH?

By wizardxboy

Jumat, 23 November 2007

Kelas Akselerasi Diubah ?
Pembinaan Potensi Anak Kurang Jelas

Jakarta, Kompas - Pemerintah memutuskan untuk mengubah total pelaksanaan kelas
akselerasi bagi anak berbakat istimewa mulai tahun ini karena dianggap tidak
jelas arahnya. Kelas akselerasi telah berlangsung selama beberapa tahun, mulai dari TK
hingga SMA, di sejumlah daerah.
Hal itu dikemukakan Direktur Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan
Nasional Eko Djatmiko, Kamis (22/11). Di sekolah-sekolah reguler, murid yang ber-IQ lebih
dari 125 dikumpulkan dalam kelas tersendiri. Terdapat lebih dari 130 sekolah dari tingkat
TK hingga SMA di Indonesia yang menyelenggarakan program kelas akselerasi dengan
murid lebih dari 3.000 orang.
"Definisi program akselerasi selama ini hanya dimaknai sebagai kelas percepatan
sehingga masa studi lebih pendek. Sebagai contoh, dari SMA yang tadinya tiga tahun
menjadi dua tahun. Seluruh mata pelajaran dipadatkan saja materinya," ujar Eko Djatmiko.
Selain itu, anak-anak dalam kelas tersebut dikhawatirkan cenderung menjadi
eksklusif karena selama berada di sekolah ada di kelas khusus. Belum lagi masalah
ketidaksesuaian umur dengan jenjang pendidikan.

Tidak jelas

Pembinaan potensi anak-anak yang tergabung dalam kelas tersebut juga masih
kurang jelas. Setelah anak-anak itu lulus dari satuan pendidikan, untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan berikutnya mereka tetap mengikuti tes seperti siswa lain umumnya.
Mereka tidak disalurkan dengan pembinaan yang berkesinambungan ke jenjang berikutnya.
"Padahal, program ini dimaksudkan untuk pembinaan anak berbakat istimewa.
Orangtua murid yang sudah memfasilitasi anaknya untuk ikut program itu dibingungkan
dengan tujuan akhir dari kelas tersebut," ujar Eko.
Oleh karena itu, pedoman pelaksanaan kelas akselerasi itu diubah. Kelas itu
bukan sekadar program percepatan tahun bersekolah, melainkan merupakan pengayaan dan
pendalaman bagi anak, khususnya untuk Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Sekolah yang membuka kelas akselerasi harus menyelenggarakan pembelajaran di
kelas berbeda untuk mata pelajaran MIPA. Mata pelajaran lainnya diselenggarakan di
kelas reguler. Pembelajaran MIPA juga harus menggunakan pengantar Bahasa Inggris dan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Julia Maria van Tiel dari Yayasan Adhi Purusa (yayasan yang peduli pada anak
cerdas istimewa) mengatakan bahwa banyak orangtua yang tidak mengerti mendidik anak
berbakat sehing- ga justru dianggap anak bermasalah.
 

Tinggalkan Kelas Akselerasi, Masuk Kelas Inklusi

By wizardxboy
Oleh
Julia Maria van Tiel

JAKARTA-Hingga kini kita hanya mengenal kelas akselerasi (percepatan) untuk anak-anak berbakat (gifted children) Indonesia. Sesungguhnya kelas akselerasi sudah banyak ditinggalkan.
Keuntungannya memang anak didik dapat didorong agar berprestasi lebih cepat. Sayangnya, anak berbakat muda yang tengah berkembang, namun setengah dari populasi itu justru underachiever. Ini karena tumbuh kembang mereka berbeda dari anak normal, yang menyebabkan kesulitan dalam menerima pembelajaran konvensional.
Sekalipun mereka mempunyai loncatan perkembangan kognitif dan motorik kasar, terapi mereka dapat tertinggal pada kematangan perkembangan, baik fisik, emosi, motorik halus, adaptasi, sosial, bahasa, dan bicara. Ini yang menyebabkan ketidaksiapan menerima pembelajaran. Bisa juga karena membutuhkan pendekatan khusus, mereka sulit berprestasi di kelas konvensional atau klasikal.
Mereka membutuhkan pendekatan dua arah sekaligus. Mengeliminasi kesulitan akibat perkembangannya yang unik, dan juga sekaligus keberbakatannya. Jika hanya mengatasi beberapa masalah saja, dari banyak laporan, justru hanya akan menambah masalah baru. Ini disebabkan karena dorongan internal anak-anak berbakat adalah memenuhi rasa keingintahuannya yang besar melalui eksplorasi dan pengembangan intelektualitasnya. Ini membutuhkan penyaluran dan pemenuhan kebutuhan.
Andaikan hanya mengupayakan kelas akselerasi saja, anak ini tidak akan terdeteksi sebagai anak berbakat dan juga tidak akan menerima pendidikan sebagaimana keunikan, kesulitan, dan kebutuhannya. Kesemua ini mengancam nasibnya di kemudian hari.
Apa yang dibutuhkannya dalam pendidikannya adalah bimbingan guru yang memahami berbagai karakteristiknya, personalitasnya, tumbuh kembangnya, gaya berpikir, dan gaya belajarnya, yang memang berbeda dari anak-anak normal pada umumnya.
Mereka butuh pendekatan pembelajaran dua arah sekaligus. Pertama ke arah kesulitannya di mana ia membutuhkan dukungan, stimulasi, terapi, remedial teaching, dan kesabaran. Kedua, membutuhkan berbagai materi yang sesuai dengan karakteristik berpikir seorang anak berbakat yang lebih kepada materi yang penuh tantangan pengembangan kreativitas dan analisis.
Sekolah reguler yang mampu menerima anak-anak berbakat agar dapat mengikuti pendidikan saat di fase-fase sulitnya di kelas-kelas sekolah dasar bersama anak normal lainnya, sekaligus juga menerima layanan pengembangan keberbakatan, disebut sekolah inklusi.
Guru diharapkan dapat membimbingnya menapaki tahapan tumbuh kembangnya yang sulit tersebut dalam situasi aman agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dalam lingkungan yang nyaman. Sebab anak-anak berbakat yang mempunyai gejala mirip dengan autisme ataupun ADHD, tidak layak jika diterapi dan dididik sebagai autisme atau ADHD, karena sekalipun mempunyai gejala yang mirip namun mempunyai perbedaan yang tegas, serta neurobiologis dan akar permasalahan yang berbeda.
Guna memenuhi hal ini, guru perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan yang memadai dan selalu mengikuti penyegaran keilmuan guna mengikuti perkembangan strategi pengajaran yang didukung oleh hasil-hasil penelitian mutakhir (evidence based practice) yang kini sangat pesat berkembang.

 

Kelas Akselerasi Lebih Mahal

By wizardxboy

Jakarta - Para murid kelas akselerasi membayar lebih mahal ketimbang mereka yang belajar di kelas reguler. Kondisi ini berbeda dengan negara lain, seperti Singapura yang justru memberikan beasiswa bagi anak cerdas berbakat dan kelanjutan pendidikan mereka diperhatikan pemerintah.

Berdasarkan pemantauan pada Sabtu (24/11), murid kelas XII akselerasi di SMAN 70 Jakarta, misalnya, dikenakan iuran sekolah Rp 350.000 per bulan. Jumlah tersebut lebih tinggi sekitar Rp 100.000 dibandingkan dengan iuran murid kelas reguler.

Koordinator program percepatan atau akselerasi SMAN 70, Risda Wahab, mengatakan, keputusan mengenai iuran tersebut diputuskan oleh komite sekolah dan orangtua murid akselerasi. “Karena waktu pendidikan dipercepat, orangtua mengambil kebijakan untuk menambah sumbangan dan sifatnya sukarela. Sekolah tidak menentukan,” ujarnya.

Di SMP 19 Jakarta, awalnya sekolah mematok uang sumbangan pendidikan Rp 5 juta khusus untuk kelas akselerasi. Jumlah itu lebih besar Rp 2 juta dari kelas reguler yang standar minimumnya Rp 3 juta. Namun, dalam praktiknya, sekolah memberikan sejumlah keringanan kepada siswa berpotensi, tetapi kurang mampu secara ekonomi.

“Bagi saya tidak masalah. Apalagi fasilitas sekolahnya bagus dan anak saya akan bisa lulus lebih cepat,” kata Iis (40), orangtua murid kelas akselerasi di SMP 19 Jakarta.

Sementara itu, di sekolah lain, Wakil Kepala SMP 115 Jakarta Lily Handasah mengatakan, di kelas akselerasi orangtua murid membentuk komite kelas yang bersedia memfasilitasi segala kebutuhan kelas tersebut. Sampai saat ini, orangtua murid telah memberikan satu LCD proyektor sebagai fasilitas tambahan di kelas.

Ada kritik
Meski demikian, ada sejumlah kritik yang dilontarkan terhadap penyelenggaraan kelas akselerasi. Rachmat W Adi, Ketua Yayasan Adhi Purusa (Perkumpulan Orang Tua Anak Cerdas Istimewa), di Jakarta mengatakan, kelas akselerasi yang ada sekarang ini cuma pemadatan waktu sehingga anak cerdas istimewa bisa menyelesaikan pendidikan lebih cepat. “Pendidikan seperti ini tidak merangsang anak untuk bisa mengenali potensinya dan bersosialisasi,” kata Rachmat.

Julia Maria van Tiel, pembina mailinglist orangtua anak cerdas istimewa, mengatakan, di dunia kelas akselerasi mulai ditinggalkan. Pendidikan untuk anak cerdas istimewa kini semakin mengarah ke inklusif, agar anak bisa bersosialisasi dan menghargai keberagaman. (Kompas)

 

Target Akselerasi Pendidikan Dihadang Banyak Masalah

By wizardxboy

BANDUNG, (PR).-
Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Iwan Hermawan, pesimistis program akselerasi pendidikan di Jawa Barat terlaksana sesuai target. Menurut Iwan, program akselerasi di Jawa Barat menghadapi berbagai permasalahan yang akan menghambat tercapainya target IPM sebesar 80 pada 2010.

Hal ini diungkapkannya dalam diskusi publik “Membedah Persoalan Pendidikan Jawa Barat” di Aula Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Jumat (31/3). Dalam kesempatan ini, Iwan memaparkan enam masalah yang mengancam suksesnya program akselerasi pendidikan. Minimnya, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dinilai Iwan sebagai penyebab utama lambannya program ini.

Iwan berpendapat, APBD sektor pendidikan belum memenuhi tuntutan konstitusi, yaitu 20% dari APBD. Akibatnya, sumbangan pendidikan dari masyarakat jauh lebih besar daripada pemerintah. Hal ini juga menyebabkan masyarakat miskin masih harus menanggung biaya pendidikan yang mahal.

Penyebab lainnya adalah penyebaran pendidikan yang tidak merata. “Yang miskin masih bersekolah di sekolah miskin. Dengan anggaran sekolah yang minim, fasilitas minim, kapan mereka bisa maju?” katanya. Sementara itu, kebanyakan anak orang mampu bersekolah di sekolah yang tergolong elit dan bagus.

Dia menilai, pemerintah daerah masih belum adil dalam memberikan subsidi kepada sekolah. “Sekolah miskin subsidinya kecil, sedangkan sekolah yang kaya mendapat subsidi banyak, karena pemerintah melihat dari anggaran sekolahnya,” ungkapnya.

Iwan juga menilai kebijakan pemerintah melakukan ujian nasional (UN) tidak adil. Ujian nasional adalah standar kelulusan nasional. Padahal, disparitas sekolah masih tinggi. Sekolah di kota kualitasnya tidak bisa disamakan dengan sekolah pinggiran, sebab fasilitasnya pasti berbeda.

Selain itu, anggaran yang berbeda membuat sekolah di pinggiran tidak akan bisa mengejar sekolah unggulan di kota. Dengan begitu, standar kelulusannya pun tidak bisa disamaratakan. “Startnya saja tidak sama, bagaimana sampai ke finishnya bisa sama?” katanya.

Siswa juga masih dijejali mata pelajaran yang belum tentu sesuai dengan kebutuhannya. “Semua mata pelajaran itu penting, tapi belum tentu sesuai dengan kebutuhan siswa,” ujarnya. Hasilnya, banyak mata pelajaran yang diberikan kepada siswa, tetapi siswa malah tidak mengerti semua yang didapatnya.

Untuk menghadapi hambatan itu, Disdik Jabar mengambil kebijakan, di antaranya memberikan subsidi kepada siswa dari keluarga kurang mampu. Kartu bebas biaya sekolah (KBBS) dinilai Kepala Subdinas Pendidikan Dasar, Bambang Sutrisno, telah menaikkan angka partisipasi murni (APM) Jabar.

Menurut dia, APM tahun 2004 hanya 59, tetapi dengan adanya KBBS, tahun 2005 naik menjadi 66,19. “Ini kenaikan terbesar yang pernah dialami oleh Jabar,” ujarnya.

Dia juga mengakui, Disdik Jabar harus kerja ekstra keras untuk mencapai APM 78 pada tahun 2006 ini. Diharapkan, peluncuran KBBS, bantuan gubernur untuk siswa (Bagus), dan subsidi lain dari pemerintah dapat mengatrol kenaikan APM.
 

Akselerasi, program anak cerdas

By wizardxboy
Jakarta (Republika: 08/10/04) Sekitar 20 persen siswa SD dan SLTP di beberapa provinsi memiliki kemam¬puan dan kecerdasan luar biasa namun berisiko tingga kelas. Mengapa demikian? Penyelenggaraan kelas akselerasi (percepatan belajar) dianggap salah satu alternatif bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata rata. Ini dilakukan untuk mengimbangi kekurangan yarig terdapat pada kelas klasikal yang bersifat massal. Melalui program ini memungkinkan siswa dapat menyelesaikan waktu belajar lebih cepat dari yang ditetapkan.

Adalah Dr Herry Widyastono MPd yang mencoba mengelompokkan kecerdasan dan kemampun siswa dalam tiga strata: anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata rata, rata rata, dan di bawah rata rata. Siswa di bawah rata rata memiliki keeepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa umumnya. Sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata rata memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar siswa siswa lainnya.

Siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan rata rata, menurut dia, selama ini diberikan layanan pendidikan dengan mengacu pada kurikuluin yang berlaku secara nasional. Itu karena kurikulum tersebutdisusun terutama diperuntukkan bagi anak-anakyangmemilikikemampuandan kecerdasanrata-rata. Siswa dengan kemampuan dibawah rata-rata, diberikan layanan pengajaran remidi (remedial teaching).¬

Bagaimana dengan siswa dengan kemampuan diatas rata rata? Herry yang berbicara dalam seminar Program Percepatan Belajar bagi Pengawas dan Kepala SMP Negeri dan Swasta di Jakarta, pekan lalu mengatakan, mereka belum mendapat layanan pendidikan sebagaimana mestinya., "Bahkan, kebanyakan sekolah memberikan perlakuan yang standar (rata rata), bersifat klasikal dari massal, terhadap semua siswa, baik siswa di bawah rata rata, raat-rata, dan di atas rata rata, yang sebenarnya memiliki kebutuhan berbeda," ujarnya.

Akibatnya, ungkap Penanggungjawab kegiatan Penelitian danP engembangan bagi Anak Berbakat pada Pusal Kurikulum, Balitbang, Departemen Pendidikan Nasional itu, siswadi bawah rata rata yang memiliki kecepatan belajar di bawah rata¬-rata akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Siswa di atas rata rata akan jenuh karena harus menye¬suaikan diri dengan kecepatan belajar siswa siswa lainnya.

Herry lalu mengungkapkan akibat lanjut¬an. Mengutip Yaumil (1991), dia bilang, “Sekitar 30 persen siswa SMA di Jakarta yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berprestasi di bawah, potensinya. Herry juga menemukan ada 20 persen siswa SLTP dan SD di Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, berisiko tinggal kelas karena nilai rata rata rapornya untuk semua mata pela¬jaran catur wulan 1 dan 2, kurang dari enam.

Bagi siswa dalam kategori ini, menurut dia, perlu ada pelayanan pendidikan khusus. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan itu tadi, dengan menyeleng¬garakan akselerasi, program percepatan belajar. Dan kenyataannya, sejumlah sekolah, terutama di DKI Jakarta, sudah menerapkan program semacam ini kepada anak didiknya.

Masih bersifat klasikal-massal

Para guru yang tergabung dalam Musyawarah Kepala Sekolah Penyelenggara Program Akselerasi (MKS¬PPA) DKI Jakarta memandang, penyeleng¬garaan pendidikan secara regu1er yang dilaksanakan selama ini masih lebih banyak bersifat klasikal massal, yaitu berorientasi pada kuantitas untuk dapat melayani sebanyak banyaknya, jumlah siswa. Kelemahan yang tampak dari penyeleng¬garaan seperti:ini adalah tidak terako¬modasinya kebutuhan individual siswa di luar kelompok normal.

Sebagaimana halnya Herry, MKS PPA melihat, dengan sistem ini, siswa yang memiliki potensi kecerdasandanbakat stimewa tidak terlayani secara baik sehing¬ga potensi yang dimiliki dak dapat tersalurkan atau berkembang secara optimal. Berdasarkan pengalaman, siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa cenderung lebih cepat menguasai materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Akibatnya, mereka harus menunggu siswa lain yang memiliki kurang kemampuan dan kecerdasan dari padanya.

Bagaimana sistempelayanan belajardalam program akselerasi? Drs Edy Junaedi, Sastradiharja, MPd dari sekolah AlAzhar Syifa Budi Jakarta dalam seminar yang sama menyebut beberapa cara: sekolah khusus, kelas khusus, dan program khusus. Untuk mengantisipasi timbulnya sikap ekslusifisme dan mendorong tumbuhnya keterampilan sosial (social skill), menurut dia, dapat dilakukan manajemen kelas dengan beberapa pola sistem pelayanan belajar.

Antara lain, pengelompokan siswa dalam kelas khusus. Siswa yang memenuhi persyaratan masuk kelas percepatan belajar kelas tersendiri walaupun jumlahnya sedikit; tidak seperti kelas lainnya, "Bahkan apabila jumlah siswa yang terjaring cukup banyak, misalnya melebihi 22 siswa, akan lebih baik dibuat dua kelas yang lebih kecil sehingga setiap siswa akan mendapat kesempatan belajar lebih banyak,” dia menuturkan.

Selain itu, dapat pula dilakukan penge¬lompokan siswa dalam kelas khusus dengan semi inklusi. Yaitu, pada sebagian mata pelajaran siswa belajar bersama sama dengan kelas reguler. Misalnya, pada mata pelajaran yang bersifat vokasional'seperti olahraga, kesenian, komputer, muatan lokal Alquran, dan mata pelajaran lain yang lebih banyak menekankan kepada kompetensi dasar keterampilan psikomotorik maupun afektif

Menurut dia, pengembangan strategi pembelajaran perlu diarahkan pada terwujudnya proses belajar tuntas melalui pendekatan siswa belajar aktif dan kreatif dengan penekanan pada pemilihan materi esensial sesuai indikator indikator hasil belajar pada setiap kompetensi dasar dalam kurikulum. yang berlaku.

Juga perlu lebih banyak rrienggunakan metode inquiry (penelitian/penyelidikan) dan discovery (penemuan), di samping metode lainnya dalam rangka memberikan proses belajar yang ‘bermakna. "Sehingga siswa bukan hanya tahu sesuatu tapi bisa melakukan sesuatu," ujarnya.

Edy juga menyatakan perlunya memodifikasi model pembelajaran agar lebih menarik dan menantang, Misalnya, mendatangkan sumber belajar asli langsung ke dalam kelas, seperti pelaku sejarah, sutradara, presenter ternama, dokter, pengusaha, atau sumber belajar lainnya sesuai kebutuhan mata pelajaran dan tuntutan, kompetensi dasar. Atau sebaliknya, membawa siswa untuk belajar di luar kelas dengan mendatangi sumber-sumber belajar melalui kegiatan field trip.

Senada dengan Edy Junaedi, Drs, Fakhruddin MPd, wakil kepala SMA, Labschool Rawamangun menyebut tiga bentuk atau model penyelenggaraan program akselerasi yang dapat dilakukan. Yakni, program khusus, kelas khusus, dan sekolah khusus. Namun dia menyatakan, setiap bentuk memiliki kelebihan dan kekurangan.

Model sekolah khusus yang memberikan layanan pada suatu sekolah khusus diperuntukkan bagi siswa akselerasi (berasrama maupun tanpa berasrama), misalnya. Kelebihan dalam sekolah berasrama, waktu belajar bisa lebih panjang dan memudahkan kegiatan ekstrakurikuler.

Tanpa berasrama, memudahkan perencanaan kegiatan dan ada interaksi dengan sekolah lain. Kekurangannya, sekolah berasrama tidak sesuai untuk jenjang SD, sedangkan tanpa berasrama akan timbul elitis yang kurang baik.

Bagaimanapun, menurut Herry Widyastono, penyelenggataan kelas akselerasi bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan salah satu strategi alterhatif yang relevan, karena mereka memiliki kecepatan belajar dan motivasi belajar di atas siswa-siswa lainnya.

Namun, kata dia; ini tidak berarti peningkatan mutu pendidikan untuk peserta didik secara klasikal massal ter¬abaikan, melainkan perbedaannya terletak pada intensitas dan ektensitas perhatian yang diberikan kepada peserta didilk sesuai dengan kondisi mereka.
 

Berhasilkah Program Akselerasi Kita?

By wizardxboy
Jumat, 30 April 2004

Sejak tahun ajaran 1998/1999 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengadakan uji coba program akselerasi untuk anak berbakat intelektual. Dengan program ini, lama belajar siswa dapat dipercepat selama satu tahun pada setiap satuan pendidikan. Sekolah Dasar (SD) dari enam tahun dipercepat menjadi lima tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) dari tiga tahun menjadi masing-masing dua tahun. Peserta program ini adalah siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, kreatif, dan tanggung jawab terhadap tugas.

Dalam pelaksanaannya, ternyata ditemukan berbagai masalah. Seorang wakil kepala sekolah salah satu penyelenggara program ini pernah mengisahkan pengalamannya. Dia berujar, ''Selama pelaksanaan akselerasi di sekolah ini, saya menemukan beberapa hal yang aneh. Antara lain siswa terlihat kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul dan, tidak suka pada pelajaran olah raga. Mereka tegang seperti robot. Kami juga dapat laporan dari orang tua bahwa kini mereka sulit berkomunikasi dengan anaknya."

Hal itu, antara lain yang mendorong Nuraida untuk melakukan penelitian. Tim Peneliti Pusbangsitek Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini lebih menitikberatkan pada kecerdasan emosional siswa peserta akselerasi pada tingkat SMU. Dugaannya, kala itu, masalah ini terjadi karena tidak tercapainya salah satu tujuan program akselerasi, yaitu meningkatkan kecerdasan emosional.

Nuraida menuturkan, akselerasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah akselerasi yang berbasis kurikulum nasional. Tingkat SMU, misalnya, ada 13 mata pelajaran: Agama, IPS, PPKN, Bahasa dan Sastra Indonesia, sejarah nasional dan sejarah umum, bahasa Inggris, pendidikan jasmani dan kesehatan, matematika, fisika, kimia, biologi, geografi, olah raga dan seni rupa, ditambah dengan sejumlah ekstra kurikuler. Oleh karena itu, Indonesia memakai jenis akselerasi Telescoping curriculum dan Compacting curriculum.

Alasan pemilihan jenis ini agar siswa tidak meninggalkan salah satu pelajaran tersebut. Jadi siswa mendapatkan semua pelajaran dalam sistem pendidikan nasional. Tekniknya, dengan mengambil pelajaran yang esensial saja sedangkan materi-materi yang tidak esensial bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Tidak perlu tatap muka. Dengan cara seperti ini, siswa dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu lebih cepat.

Kenyataannya, terdapat kesulitan karena sistem pendidikan yang sentralistik. Jumlah pelajaran sangat banyak, namum belum ada layanan individual sesuai dengan bakat dan minat. Karena itu, harus mengakselerasikan 13 mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum nasional. Akibatnya siswa sangat merasa berat karena harus mempelajari semua mata pelajaran dalam waktu yang sangat cepat.

Ini berbeda dengan di Amerika. Di Negeri Paman Sam tersebut, jelas Nuraida, peserta didik yang mengikuti program akselerasi tidak diberikan semua mata pelajaran. Anak berbakat matematika memiliki kurikulum khusus di bidang matematika. Jumlah pelajaran pun tak banyak. Antara lain; computer science, Humanities, Math, science course dan writing course (www.Jhu/Gifted/teaching). Namun mereka mempelajarinya secara luas dan mendalam sekali.

Bagi siswa yang telah menguasai sejumlah pelajaran matematika pada satu tingkatan maka dia perbolehkan mempelajari matematika pada tingkat yang lebih lanjut. Misalnya loncat ke kelas yang lebih tinggi, belajar matematika pada tingkat universitas, kelas gabungan, telescoping kurikulum, dan sebagainya.

Begitulah pelaksanaan program akselerasi di negeri itu. Tujuannya, meningkatkan efisiensi, efektivitas, memberikan penghargaan, kesempatan untuk berkarir lebih cepat dan meningkatkan produktivitas. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena sistem pendidikan mereka sangat fleksibel. Artinya dalam sistem pendidikan mereka, pemerintah memberikan kebebasan kepada tiap negara bagian untuk mengelola pendidikan sesuai bakat dan minat. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu secara garis besar yang harus dimiliki oleh warga setelah lulus.

Jadi. kata Nuraida, bisa dipahami mengapa akselerasi yang dilaksanakan di Amerika berhasil dengan baik dan dalam waktu yang relatif cepat mampu menghasilkan sejumlah saintis. Kurikulum yang mereka kembangkan sangat fokus, tergantung pada bakat yang dimiliki oleh seorang anak. Anak yang berbakat matematika hanya memperdalam matematika dan pelajaran yang serumpun dengannya. Dengan cara ini akan memudahkan anak-anak menguasai pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Inilah teknik mencetak orang ahli dalam bidangnya.

Apakah tujuan pelaksanaan program akselerasi di Indonesia yang telah dirumuskan akan berhasil dengan menggunakan kurikulum nasional bermuatan 13 mata pelajaran? Penelitian Nuraida -- yang menitikberatkan pada aspek kecerdasan emosional -- tidak menemukan pengaruh yang berarti. Itu diketahui setelah melakukan tes kecerdasan emosional pada kelas akselerasi dan dibandingkan dengan siswa kelas reguler pada sekolah yang sama dan umur yang sama.

Hasil tes pengukuran kecerdasan emosional menunjukan bahwa skor kecerdasan emosional siswa akselerasi lebih rendah dari pada siswa reguler. Namun rendahnya tidak signifikan. ''Jadi bisa dikatakan sama dengan siswa kelas reguler,'' tuturnya.

Ini dapat disimpulkan bahwa program akselerasi Indonesia yang berbasis kurikulum nasional belum mencapai tujuan yang telah dirumuskan, seperti meningkatkan kecerdasan emosional. Siswa banyak yang stres, tegang, dan jarang komunikasi. Pada hal menurut hasil penelitian yang dihimpun oleh Barbara Clark (1982) tentang anak berbakat Matematika usia 12-13 tahun pada Universitas John Hopkins Amerika, jelas Nuraida, skor penyesuaian emosional dan sosial peserta program akselerasi di atas rata-rata.

Republika Online

 

Acceleration Class Program in Indonesia: Is It in the Right Track?

By wizardxboy
Dedy Gunawan

There have been higher concerns about providing adequate learning circumstances for gifted students in Indonesia. The Department of National Education has provided a legal regulation allowing schools to provide acceleration opportunities for gifted students. In section 5, article 4 of National Education System Act of 2003 it is stated that any citizen who has special talent and intelligence should get special education. Section 12, article 1 states that every learner in any grade level has the right to … (b) obtain educational services based upon their interest, talent, and ability; … (f) finish their grade based on how fast they could learn. The time they need to finish their study should not incompatible with the regulation (Depdiknas, 2003 p. 160). Quite surprisingly, in response to that regulation, many schools compete each others to open acceleration class. Acceleration class program is now becoming a trend in Indonesian primary and secondary schools (Kamdi, 2004).
In the area of gifted education, acceleration is a fashionable term. Toth (1999) identifies acceleration into the following definitions: ‘early admission, grade skipping, advancing to a higher grade of a specific subject area, early graduation, or concurrent enrolment in college’. Some other options of acceleration are continuous progress, content acceleration, testing out of course requirements, advanced course in school breaks or after hours, correspondence courses, advanced placement courses, dual enrolment, specially designed credit courses, and radical acceleration (Columbia, 1995). A lot of schools around the world choose and consider acceleration program as an appropriate way to fulfil the gifted children needs (Belcastro, 1998; Lambert, 2005; Toth, 1999). A survey in Iowa Public School districts in 1997 shows that 63.7 per cent public schools implement (moderate and radical) acceleration program for gifted students (Belcastro, 1998).
This essay would like to limit the meaning of acceleration class and ability grouping of Indonesian schools. When compared to Toth’s definition of acceleration, the acceleration program in Indonesian schools is not simply facilitating gifted children to accelerate. It is actually the combination between acceleration and ability grouping. Toth (1999) himself views acceleration and ability grouping as different strategies for meeting gifted children’s needs.
Kamdi (2004) states that acceleration program in Indonesia is only the different form of “excellent class program”(direct translation of program kelas unggulan, which is almost similar to ability grouping), which was introduced by the government previously in 1994, with an additional advantage: an opportunity to speed up. That is why the program is called “acceleration class program”, not acceleration program.
Acceleration class program in Indonesian schools, according to Akbar and Hawadi (2002), is generally in the form of grade skipping, where children could complete their study less than the normal time, which then leads into an early graduation and admission to higher educational level. Even though the regulation enables students to accelerate individually and in a particular subject, there is no evidence that schools give opportunity to students to speed up individually or in a certain subject (Akbar & Hawadi, 2002; Sawali, 2002).
The regulation requires schools to use multiple ways in selecting the gifted children. The methods of determining the students’ giftedness, based on the information book published by the Department of National Education, could be in the following ways: a) Academic records, students who have outstanding academic records might enter the acceleration class b) Students who get IQ test score of 140 or more, and c) Subjective information: self nomination, peers nomination, teachers nomination, parents nomination d) Not in sick condition because of an acute disease e) Approval from the parents and the students themselves (Depdiknas, 2006). However, most of Indonesian schools only use IQ test in grouping the students. The groups is, consequently, not subject but generic based grouping, where any children who are considered to have high intelligence is grouped in a class without regarding in what area they are strong (Kamdi, 2004; Sawali, 2002).
The question appearing from this condition is: Should schools in Indonesia separate gifted and not-gifted children with acceleration class programs? The proposition of this essay is that schools in Indonesia need to separate gifted and not gifted into regular and acceleration classes because gifted and not-gifted children have different needs. This essay is going to examine the proposition by involving community of inquiry that presents arguments for and against it, considering the evidences, and moral reasoning consisting of principles, agreements, virtuous and end consequences considerations within psychology, curriculum, and economic paradigms.

Psychology Paradigm
Different arguments involving approval and objection of acceleration class program under psychological paradigm are contested. Besides presenting evidence(s), moral implications involving principles, agreements, virtuous, and end consequences consideration are also used.
Gifted and not gifted children have different needs, talents, and academic capacity that, if it is not managed properly, will lead into psychological problems (Moore, 2005; NAGC, 2005). Moore (2005) in reporting Kingore’s (2001) and Richert’s (1997) study notes some behavioural problems of gifted children as the consequence of placing them at the same class with average students, such as ‘boredom with level-grade curriculum, inappropriate behavioural outburst or reactions, sloppy work, demanding of their parents’ and teacher’s attention, demanding of other students, inconsiderate of others needs/wants, and difficulty transitioning from one subject to the next during the school day’. National Association of Gifted Children of United State of America also declares that gifted children may suffer boredom from repetitious learning in heterogenous class (NAGC, 2005). Lambert (2005), furthermore, argues that gifted students may experience frustration, completely disinterested and drop out when they are not properly treated. Such behavioural problems, thereabouts, have become the main reasons for Indonesian schools to implement acceleration class program (Kamdi, 2004; Sawali, 2002).
On the contrary, a research done by Field et al. (1998) show an evidence that gifted children do not always have social behavioural problems in the class. The research found that
‘Gifted children perceived themselves as being more intimate with friends, assuming fewer family responsibilities, and taking more risks (both sports- and danger-related risks). Contrary to the literature suggesting delays in the social development of gifted students, these data indicates that gifted students may socially precocious when compared with non gifted peers’.

Leman (2006), then, argues that ‘there is not a lot of wisdom in pushing kids ahead, even kids who are gifted’. Leman believes that rather than pushing children through acceleration program, it is wiser for parents to be involved more deeply in teaching the children.
However, it is very important for Indonesian educators to understand the concept of giftedness before implementing the acceleration class program since the meaning of giftedness changes over time. For a long time giftedness has relied on nature assumption that gifted is born, not made (Dai & Coleman, 2005). At another moment gifted children are considered as fast learners who usually get high IQ scores (Columbia, 1995). Those meanings may still be appropriate to be the underlying principle of the Indonesian acceleration class, which is typically based upon IQ tests.
However nowadays, giftedness is not only about nature but also nurture (Dai & Coleman, 2005). It has more complex meanings and involves numerous number of attributes that IQ test alone could not comprehensively identify it (Columbia, 1995; Lambert, 2005). Rather than only using IQ and other standardised tests, teachers may have to see other evidences such as portfolios, group projects, performance-based assessments, or a summation of work displayed over time (Lambert, 2005). Moreover, Gardner (as cited in Columbia, 1995 p. 6), in the theory of multiple intelligence, identifies seven areas of capabilities ‘i.e. linguistics; logical-mathematical; spatial; bodily, kinaesthetic; musical; interpersonal intelligence; and intrapersonal intelligence’. This theory makes it clearly possible for a student to be gifted in only one or more particular areas.
When in principle, gifted children should be provided an appropriate learning situation to meet their unique needs, Indonesian teachers’ decision to engage them into acceleration class is actually in agreement with this principle. However, virtuous teachers do not only group gifted children based on a single test (e.g. IQ test). They must also research comprehensively their “individual giftedness” through longer and careful processes, and use more than one tool.
IQ test result alone may group them into another heterogonous class with more complex problems; e.g. children that are gifted in mathematics but bad in language are mixed with bad mathematics but good language children. Consequently, they may suffer from more stressful situation than if they are grouped with not gifted peers. It is better if teachers always communicate with the children and their families about any problems that may happen during their study. This continuous mutual interaction will bring a good agreement between them to solve the problems.

Curriculum Paradigm
Under the curriculum paradigm, some opinions about alternatives of curriculum used in teaching the gifted students in acceleration program are discussed. Evidence consideration and moral reasoning involving principles, agreements, virtuous and consequences, considerations are also used.
Toth (1999) recommends curriculum compacting to help gifted children meet their academic needs. In reporting Renzulli’s (1994) study, Toth states that ‘curriculum compacting is the modification or streamlining of the curriculum for those students who have demonstrated mastery of the curriculum content or who clearly have the potential to cover material in a fraction of the times their peers require’. Curriculum compacting is easy to implement in any grade level (Toth, 1999 p. 12). Toth’s recommendation implies that schools do not need to make new curriculum to fulfil the need of gifted children.
Similar to the above line of reasoning, Indonesian schools use similar curriculum to both accelerated and regular class. In order to accommodate the gifted children’s needs in acceleration, the Department of National Education allows schools to make modification to the national curriculum. The modification could be in these forms:
a) Time allocation is modified based on how fast the gifted students learn.
b) Teachers chose and skip materials within national and local curriculum.
c) Providing teaching and learning tools that support the fast pace of gifted children in learning.
d) Providing different learning situation.
e) Modifying classroom management that enables gifted students to learn in many ways: in pairs, individually, or in groups (Depdiknas, 2006).
Milner and Ford (2005), in contrast, argues that because the classes are different, the curriculum must be different. Gifted children need different curriculum not only because they are fast learner, but they are also learning differently (Tolan, 1990). Gifted children are those who are advanced in one or some areas. Some of them are very bright students but, at the same time, have learning problems, such as attention deficit disorders, learning disabilities, Asperger’s syndrome, deafness and so on (Tomlinson, 2005). Therefore, ‘because gifted learners vary considerably as a population, there is no single formula or template for curriculum and instruction that will serve all of them well’ (Tomlinson, 2005 p. 160). VanTassel-Baska and Stambaugh (2005 p. 212) emphasize that ‘In the current state of education, gifted students and other special populations may be sorely neglected … Differentiation of curriculum for gifted learning is a critical aspect of such planning’.
Betts (2004) suggests three levels of curriculum and instruction. Level one is called prescribed curriculum and instruction, which provides basic knowledge and skills for all children. The level of challenge and complexity in this level of curriculum are not appropriate for gifted children. Level two is teacher-differentiated curriculum, which includes advanced instruction and concept of differentiation and designed to meet the need of gifted children. In this level, the curriculum is developed by the teachers. Level three is learner-differentiated curriculum, where ‘the content area is selected by learners’ and it facilitates individual and self-directed learning processes. The attention is not only focused on cognitive, but also emotional and social development. Within these levels, there are two types of movement. The first is teachers’ movement from ‘dispenser of knowledge to facilitator of the learning process’. The second is students movement on the scale of learning from ‘the role of student to the role of learner’ (Betts, 2004).
The arguments of using either similar – with modification, or different curriculum seems all sensible and applicable. Since both options need teachers’ extra skills to modify or to create different curriculum, deeper attention to the teachers’ competence on curriculum development is needed. Failures in implementing acceleration program may come from the lack of teachers’ competences in the area of curriculum and instruction. As an evidence, Van Tassel-Baska’s and Stambaugh’s study (2005) notes some curriculum matters that teachers have is becoming the barriers in implementing the differentiation programs, including acceleration. They state teachers might be deficient in subject matter knowledge, classroom management skills, time management, administrative support, relevant pedagogical skills, and even knowledge of modifying curriculum.
Therefore, examined from moral reasoning, agreement between all stockholders of acceleration class program is the most critical in either modifying or developing the curriculum within acceleration program. The agreement should involve teachers, head teachers, expert of education and psychology, and most importantly, the students through, for example, continuous learning needs analyses. Without this agreement teachers might be trapped to use their instinct, which consequently, might bring bad impact to the students. Considering some problems previously stated by Van Tassel-Baska and Stambaugh, training should also be given to teachers. Without sufficient training, teachers may face difficulty in modifying or developing the curriculum that, again, will bring bad consequences to the students.
When in principle it is correct to provide different curriculum for the gifted students because they are different from not gifted ones, then in principle, both modifying and developing new curriculum are correct. Therefore, teachers or schools that provide different curriculum through either modifying or developing new one are virtuous. Virtuous teachers understand their students’ needs and always find a way to fulfil their needs.

Economic Paradigm
The simple key question to begin the discussion in economic paradigm is whether or not acceleration class program provides more economical education. In this paradigm, different assumptions are contested; evidences of both opinions are also presented. The essay also uses moral reasoning within this economic paradigm.
Kamdi (2004) states that acceleration class program in Indonesian schools is so expensive that the class is popularly known as an executive class. Some evidences show that acceleration classes cost more expensively than regular ones. In SMA N 78 Jakarta (Senior secondary school 78 Jakarta), according to Mustar (2006), each student should pay 24 million Rupiah every year compared to regular students who pay only 250 thousands Rupiah monthly. However, each student sitting in acceleration class is provided with one computer with access to the internet. They are taught by teachers who have international certificate of teaching. This differentiation makes acceleration class highly more expensive than that of regular class.
In Purwokerto, Central Java, as reported by Eviyanti (2006) from Pikiran Rakyat newspaper, junior secondary school students who sit in acceleration classes should pay their enrolment fee 10 to 12 million Rupiah, while those who go to regular class only pay 2 to 4 million Rupiah. The schools take more money from accelerated students because the program is purely funded by the parents. The government does not provide any subsidy to the class (Mustar, 2006).
In this situation, the parents are virtuous by spending larger number of money for their children. The schools are also virtuous for better facilities, curriculum and quality of teaching and learning they provide. However, schools may be trapped into commercial purposes. Therefore, it would be better if there is a harmony agreement between schools, parents, and the government. The government gives subsidies for the acceleration classes so that parents do not need spend too much money and the schools are still able to provide better quality of education.
Without the government support, the policy of acceleration class program may be biased. It gives benefit only for wealthy students but brings bad consequence to gifted children coming from poor families, due to lack of financial support, although they deserve to accept it. When based on section 31 of 1945 Indonesian Constitution every Indonesian citizen has right to get education, then, the governments decision not to subsidise acceleration class is wrong and, therefore, against this constitution principle.
Benbow, in his study in 1992 (cited in Toth, 1999, p. 7), on the contrary, states that ‘acceleration is an option with little or no financial impact; it is relatively easy to implement and greatly benefits some highly advanced students… because classrooms, materials, and teachers are already in the place’. From this statement, acceleration program, with or without ability grouping, in other part of the world is not expensive. It also implies in order to be more economical, teaching and learning sources like classrooms, materials, and teachers should be ready to support acceleration program so that schools do not need to provide different type of sources.
Another reason is because students need shorter time to graduate from school through grade skipping (Toth, 1999). While other students spend three years to graduate, accelerated students may only need two years. The money they spend also depends on the time they use to study. The shorter students go to school, the more economical they will be.
As an evidence, Georgia is a state that instructs schools to implement acceleration program because it is the most economical option to meet gifted children needs (Dugan, 2007). The position paper about acceleration of National Association of Gifted Children, an association in United State of America, also affirms that acceleration could be a successful strategy for students coming from low income families (NAGC, 2005).
Benbow’s study and the above evidences actually gives an important implication to the Indonesian acceleration program that if all schools in Indonesia could prepare acceleration class with this rationale, both rich and poor gifted students would get good consequence from this program. However, Indonesian schools’ decision to provide different classrooms, materials, and teachers indicate that those components are not ready yet to support gifted education. Therefore, further agreement between schools and government to build strong foundation – like good classrooms, materials, and teachers, is essential so that the program could bring benefits to both rich and poor gifted students.

Conclusion and Recommendation
Based on the examination of the three paradigms, the proposition stating that Indonesian schools need to separate gifted and not gifted, basically, is accepted. However, whether or not they are separated physically into regular and “acceleration class” is becoming a different matter. The following dots provide further explanation:
1) The psychology paradigm implies that, other than implementing “acceleration class program”, the schools need to see other alternatives of acceleration, such as content or subject acceleration, advanced courses, after school or school’s break school and others. Implementing acceleration class program alone, which could completely separate same age groups into different classes, might give worse psychological impact to the students.
2) Curriculum paradigm implies that Indonesian schools may choose to modify existing national or local curriculum, or develop new curriculum that best fit the needs of gifted children. However, teachers’ or educators’ readiness to make modification or new curriculum should have special attention. Evidences, as reported by Van Tassel-Baska’s and Stambaugh’s study (2005), show that failures in implementing gifted education program may come from the lack of teachers competence in curriculum area.
3) Viewed from economic paradigm, Indonesian schools need to evaluate the acceleration class program because it costs extremely expensive. There are actually a lot of ways the schools can take to make it more economical, such as government supports, source preparation, and again, implementing other types of acceleration. Schools should also be careful not to be trapped into commercial motivation pitfall.
Finally, this essay does not suggest Indonesian schools to eliminate the acceleration class program. It recommends that the schools need to evaluate the acceleration class program so that it could run properly based on the real needs of gifted children, becomes more economical and give less psychological impact to the gifted children. The schools may also need to see other types of acceleration. This essay also suggests the teachers to always improve their ability in curriculum development and modification, and instruction.

 

Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

By wizardxboy

PROGRAM percepatan belajar (lebih sering disebut kelas akselerasi atau "kelas aksel") mengingatkan kita pada program sekolah unggulan yang didirikan tahun 1994, yang telah dinilai gagal karena ternyata di dalamnya banyak juga yang tidak unggul. "Kelas aksel" bisa disebut sebagai bentuk "reinkarnasi" sekolah unggulan. Dasar pemikirannya sama, yaitu peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa berhak mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasinya dan bakatnya. Dengan kata yang lebih klise, menyiapkan "pasukan para" calon pemimpin masa depan.

SEJAK pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar diluncurkan Depdiknas, sekolah-sekolah seperti "diwajibkan" membuat kelas khusus yang berisi anak-anak yang dinilai memiliki kecerdasan luar biasa (sebutlah kelas unggulan). Kenyataan di lapangan, "kelas aksel" juga tak terhindar dari penyimpangan, mulai dari proses perekrutan hingga pelayanannya (Kompas, 24 dan 26 Juli 2004). Kelas ini dilayani lebih istimewa, lebih khusus, terisolasi, lingkungan belajar yang lebih kaya daripada kelas biasa. Di beberapa tempat "kelas aksel" identik dengan kelas eksekutif karena ruangannya ber-AC dan perabot yang serba luks.

Sekilas, program ini niscaya. Ada beberapa alasan yang masuk akal. Pertama, alasan efisiensi sosial pragmatis penyelenggaraan pendidikan. Karena negara Indonesia yang sedemikian besar, dengan penduduk amat banyak, dililit masalah pengembangan sumber daya manusia, tetapi miskin dana untuk pendidikan, maka lebih baik mendayagunakan dana yang sedikit itu secara lebih signifikan untuk memacu anak-anak cerdas agar lahir kelompok elite yang andal untuk memperbaiki kondisi bangsa ini secara lebih cepat, ketimbang dana yang sedikit itu dibagi-ratakan ke semua anak tetapi dampaknya tidak signifikan. Akumulasi pelayanan pendidikan "yang lebih" itu seakan mengharap kita semua memahami pentingnya bangsa ini "segera" memiliki "pasukan para", meskipun prosesnya harus diskriminatif dengan harus mengorbankan sebagian besar anak yang lain yang juga punya hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terbaik.

Kedua, membuat kelas yang relatif homogen sehingga siswa yang merasa luar biasa (cerdas) tidak dirugikan oleh keterlambatan belajar siswa biasa. Sering dikeluhkan banyak guru, anak-anak cerdas di kelas heterogen cenderung merasa cepat bosan belajar dan cenderung mengganggu. Karena itu, anak-anak cerdas ini perlu mendapat layanan khusus di kelas yang terpisah dari kelas anak biasa. Dengan begitu, pengelolaan kelasnya menjadi lebih mudah.

Ketiga, memberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hak asasi untuk belajar lebih cepat sesuai dengan potensinya.

PERSOALANNYA, haruskah keniscayaan itu ditempuh dengan melakukan diskriminasi? Percepatan belajar (accelerated learning) sebagai sebuah metode atau strategi pembelajaran pada dasarnya mengakui bahwa setiap manusia memiliki cara belajar yang dapat mengantarkan dirinya menjadi yang terbaik.

Ketika seseorang belajar tentang sesuatu yang secara eksak sesuai (match) dengan gaya belajarnya, maka dia akan belajar dalam cara yang natural. Karena belajar berlangsung natural, maka menjadi lebih mudah. Karena menjadi lebih mudah, maka belajar menjadi lebih cepat. Itulah mengapa kemudian disebut accelerated learning. Artinya, prinsip percepatan belajar berlaku bagi semua siswa kategori apa pun, tidak hanya bagi kelompok siswa tertentu. Pijakan utama percepatan belajar adalah karakteristik siswa.

Jika kecerdasan dipakai sebagai alat identifikasian, maka- pada konteks ini-kecerdasan adalah semata-mata kategori untuk mengidentifikasi karakteristik siswa. Dengan demikian, sudah semestinya program percepatan belajar diberikan kepada kelompok siswa kategori apa pun. Jika sekolah akan melaksanakan program percepatan belajar berdasarkan identifikasian kecerdasan, maka harus ditujukan untuk semua anak sesuai dengan kecenderungan kategori kecerdasan mereka.

Identifikasian kecerdasan dengan skor IQ, seperti yang sekarang dilakukan banyak sekolah untuk membuat kelas yang disebut unggulan, telah membuat tindakan sekolah diskriminatif bahkan sesat dalam memberikan pelayan belajar siswa secara keseluruhan. Sebab, sekolah menganggap siswa yang tidak mencapai skor IQ 120 termasuk ke dalam kelompok siswa yang tak perlu mendapat pelayanan belajar lebih.

Implementasi program percepatan belajar versi Depdiknas yang didasarkan pada identifikasian skor IQ yang dilakukan sekolah saat ini akan menimbulkan dampak buruk. Pertama, menimbulkan kecemburuan karena perlakuan yang diskriminatif. Guru akan lebih banyak menaruh perhatian kepada kelas khusus ini ketimbang kelas biasa. Di satu sisi melindungi hak asasi anak yang dianggap luar biasa untuk mendapatkan pelayanan lebih, tetapi sesungguhnya di sisi lain juga terjadi pelanggaran hak asasi karena siswa biasa pun berhak mendapat pelayanan maksimal.

Kedua, menimbulkan rasa teralienasi (tersisihkan dari lingkungan sekolah) bagi sebagian besar siswa dikategorikan kurang cerdas, yang akan memicu rendahnya motivasi belajar, dan bahkan mungkin akan memicu perilaku menyimpang karena mereka merasa karakternya telah terbunuh oleh sistem kelas yang diciptakan sekolah.

Ketiga, demikian sebaliknya, ada peluang bagi sebagian siswa yang termasuk ke dalam kelas unggulan akan berperilaku egois, angkuh, dan cenderung tidak mau mendengar pendapat orang lain. Testimoni kepada beberapa orangtua yang anak-anaknya pernah termasuk ke dalam kelas cepat di SMA PPSP tahun 1980-an menampakkan gejala-gejala psikologis seperti itu.

TEORI baru telah menunjukkan bahwa kecerdasan berdimensi majemuk. Teori multiple intelligences Howard Gardner yang telah teruji secara empiris di dalam kelas, yang juga didukung temuan-temuan di bidang neuro science tentang fungsi otak kanan dan otak kiri, adalah teori baru yang layak dijadikan landasan teori untuk membuat kategori kecerdasan siswa.

Gardner telah mengidentifikasi kecenderungan kecerdasan manusia menjadi sembilan jenis, yaitu linguistik, logiko-matematikal, musikal, spasial-visual, kinestetik-jasmani, intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan spiritual atau eksistensial. Orang yang kurang cerdas di bidang logiko-matematikal mungkin cerdas luar biasa di bidang musik, mungkin kinestetik, mungkin spasial-visual. Sementara identifikasi kecerdasan anak yang didasarkan pada skor IQ, notabene hanya mengukur kecerdasan logika-matematikal dan sedikit linguistik. Oleh karena itu, identifikasian kecerdasan luar biasa yang hanya ditentukan berdasarkan skor IQ hanya mengukur dua dimensi saja.

Betapa indahnya sekolah jika dapat melayani semua karakteristik siswa sesuai dengan kecenderungan kecerdasannya secara optimal. Tidak hanya sekelompok kecil siswa yang cerdas logiko-matimatikal saja yang mendapat pelayanan khusus, tetapi juga kelompok-kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan yang lain. Pelayanan secara berbeda tetapi sama-sama optimal bukanlah diskriminasi yang terjadi, tetapi keniscayaan bagi semua siswa. Oleh karena itu, sekolah-sekolah yang telah membuat kelas unggulan versi Depdiknas itu perlu meninjau ulang sebelum program itu menambah daftar panjang masalah pendidikan kita yang tak henti-henti dirundung masalah.

Waras Kamdi Kepala Pusat Kurikulum, Pengembangan Pembelajaran dan Evaluasi LP3 Universitas Negeri Malang

 

Kelas Akselerasi Bisa Perkosa Perkembangan Anak Didik

By wizardxboy

Malang, Kompas - Perwujudan kelas akselerasi harus dilakukan secara saksama, sehingga benar-benar bisa mendorong perkembangan anak berbakat secara optimal dan tuntas. Jangan malah memperkosa perkembangan kepribadian anak. Hal itu dikemukakan pakar pendidikan Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) Dr Hendyat Sutopo kepada Kompas di Malang, Kamis (30/5).

Pada hakikatnya kelas akselerasi harus dibedakan dengan kelas khusus anak berbakat. Kelas khusus itu hanya mengumpulkan anak-anak keberbakatan dan memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam satu kelas. "Kalau ini gampang dikelola. Yang penting anak pintar dikumpulkan, dijejali materi pelajaran agar waktu belajarnya lebih cepat selesai. Yang mestinya selesai tiga tahun menjadi dua tahun, misalnya," katanya.

Kelas akselerasi itu bukan merupakan kelas khusus, tetapi tetap kelas reguler dengan murid yang memiliki tingkat kemampuan dan keberbakatan heterogen. Murid-murid itu secara individual diberi kesempatan untuk berkembang sesuai kemampuan, kecepatan, dan irama belajarnya. Biarkan anak di sekolah mengeluarkan kemampuannya secara maksimal. Yang penting tuntas.

"Jadi, tes hasil belajar tidak harus dilakukan secara serentak. Kalau ada murid yang sudah siap, seorang guru harus melayani. Anak mendapat program pengayaan. Dengan demikian, kalau anak selesai dengan waktu lebih cepat, hal itu bukan karena paksaan, tetapi berjalan apa adanya atau alamiah," katanya.

Yang penting, kelas akselerasi harus didasarkan paradigma bahwa anak harus berkembang secara optimal segala aspek secara alamiah. Tidak cukup hanya aspek pengetahuan, tetapi juga aspek emosional, dan sosial.

"Inilah yang rawan kalau kelas akselerasi dipahami seperti kelas khusus. Bisa jadi pengelola akan berbuat apa saja, yang penting proses belajar-mengajar selesai lebih cepat. Yang mestinya tiga tahun bisa rampung dua tahun, sehingga bisa mengikuti ujian akhir nasional (UAN) atau ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN)," katanya.

Percepatan waktu demikian mudah dicapai. Ia mencontohkan bagaimana pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) yang seharusnya untuk satu caturwulan, bisa diselesaikan dalam waktu satu hari untuk anak-anak yang dipersiapkan ke Olimpiade MIPA.

Akan tetapi, menurut dia, sekolah lantas seperti kursus belaka. Anak hanya dijejali pengetahuan. Ini jelas menyalahi hakikat pendidikan yang mengembangkan anak secara keseluruhan, baik emosional, intelektual, sosial, maupun keterampilan. Pola pendidikan yang demikian akan menimbulkan masalah kepribadian.

Hendyat mencontohkan sistem pendidikan Program Pendidikan Sekolah Perintis (PPSP) yang pernah dikelola IKIP Malang. Proses belajarnya menggunakan sistem modul. Anak terbukti mampu mengakselerasi proses belajarnya, namun ternyata anak mengalami masalah sosial dan emosional. Misalnya, anak hanya berkumpul dengan anak pandai. Tatkala melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, harus berada satu kelas dengan murid yang usianya lebih banyak, ternyata anak mengalami hambatan proses sosialisasi.

Ia mengingatkan, kelas akselerasi banyak hambatan karena menyangkut sistem di luarnya. Ia mencontohkan, anak yang selesai 2,5 tahun di bangku sekolah menengah umum (SMU). Apakah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mau mengeluarkan ijazah pada semester ganjil. Anak harus menunggu pula untuk masuk perguruan tinggi negeri, karena UMPTN atau seleksi masuk PTN dilakukan setahun sekali. Demikian pula anak sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) yang selesai 2,5 tahun, tetap harus menunggu untuk melanjutkan ke SMU.

Untuk itulah, pengadaan kelas akselerasi harus disertai dengan kebijakan Depdiknas terhadap sistem pendidikan nasional. Misalnya, mau mengeluarkan ijazah pada semester ganjil. Memberikan fasilitas kelanjutan jenjang pendidikan secara berkesinambungan. "Janganlah kelas akselerasi menimbulkan kekecewaan kepada anak," katanya.