Akselerasi or Acceleration
Blog ini menyediakan berita-berita tentang kelas akselerasi yang menurut sebagian orang sangat "wah". Sebenarnya kelas aksel tidaklah yang seperti kita bayangkan, anak-anak yang pandai, kreatif, cerdas, dan sebagainya. Kita harus lebih memperhatikan psikologis anak-anak aksel dimana mereka seperti kehilangan hidup mereka. Hidup mereka hanya diisi dengan belajar dan belajar. Mari kita tengok realita yang ada.

Kelas Akselerasi(Bag.2)

By wizardxboy

Nah, kita udah puas ngerasani siswa kelas akselerasi, gimana halnya dengan anak-anak reguler? What we have to do with them?
Gini loh, bu guru, setiap anak itu, mau dilabeli jenius atau tidak, sebenarnya kan telah dibekali talenta dari langit sana. Setiap manusia di cipta untuk tujuan tertentu, ada tugasnya. Lhah ya untuk ngejalanin tugas itu kan butuh tools, butuh skills. Perangkat itu sebenarnya sudah disematkan pada masing-masing diri. Cuma.. ya itu dia, talenta itu ibarat harta terpendam, kita nih, sebagai pendidik, ibarat pemburu harta karun. Harus punya peta, harus mau cape, dan harus punya keyakinan kalo emang harta karun itu ada pada diri anak-anak kita.
Namanya aja harta terpendam, pasti ga mudah dideteksi. Kadang butuh waktu lamaaa sekali sampe kemudian kita sadar tengah membesarkan seorang jenius. Ada timing dimana bakat tersebut baru muncul. Einstein, contohnya, semasa sekolah tidak pernah menunjukkan prestasi akademis. Begitu pula Thomas Alva Edison yang bahkan dikeluarkan dari sekolah karena kebanyakan melamun di kelas.
Pointnya, setiap pendidik harus membangun visi, musti punya kesadaran bahwa setiap anak itu mempunyai potensi yang luar biasa dalam dirinya, yang butuh di stimulasi, di gali, di fasilitasi, agar tumbuh, berkembang sesuai dengan tugas apa yang di embannya dari langit. Bisa dibayangkan betapa mengerikannya kalo para pendidik, tidak memiliki visi mengenai potensi Ilahiyyah ini. Anak hanya diperlakukan sesuai label, kategori yang kita lekatkan hingga si anak pun tumbuh dalam persepsi yang belum tentu benar tentang dirinya sendiri. Hiii… Coba deh, liat penilaian kualitatif di raport anak TK. Umumnya fokus pada kekurangan atau kelemahan anak, ananda A masih belum bisa konsentrasi, tidak mau menyelesaikan tugas, suka menganggu teman, membantah, bla-bla-bla. Kita, sebagai pendidik, jarang sekali melihat (variabel) masalah anak secara reflektif. Permasalahan seperti itu kan baru timbul saat mereka sekolah. Artinya ada treatment yang belum optimal yang bisa melihat/mendeteksi/mengangkat sisi positif anak. Sudah menjadi jadi tugas bu guru berjibaku mencari metoda yang paling pas untuk anak. Harus kepegang milestones, paham tahapan berpikir mereka sampai pada level apa, dan diatas itu semua, pendekatan yang tulus, yang penuh kasih sayang pada anak didik yang biasanya paling sukses melambungkan potensi anak agar berkembang optimal. Menurut saya, mendidik anak itu merupakan proses spiritual bagi guru.
Bayangkan bu, kita ketitipan anak sedemikian banyak dan harus memantau setiap perkembangan mereka, rasanya impossible ga sih? Kecuali dengan pertolongan Allah ta’ala, tentu saja.
Yang utama, bu, dari proses pendidikan itu adalah bagaimana menumbuhkan semangat belajar pada diri mereka. Nah, hanya saja yang harus kita pahami makna belajar itu apa bagi mereka? Ibu guru harus mengembangkan wawasan bahwa makna belajar itu tidak hanya duduk manis di kelas dan menghapal pelajaran. Sebagai guru musti peka akan kebutuhan masing-masing anak, mungkin ada yang tipikal slow-to-warm up, ada yang membutuhkan afeksi lebih dibandingkan anak lainnya, ada yang memang harus dengan pendekatan individual. Gali data mengenai karakter khas setiap anak dari orangtuanya. Setelah itu bu guru harus berani memilah kurikulum mana yang memang sudah sesuai dengan tingkatan mereka, -mau ndak mau harus baca teori perkembangan, kalo dirasa anak-anak masih sulit menangkap maksud dari suatu istilah, ya jangan dipaksakan, kalo perlu di-skip aja. Toh, kita melakukan ini juga berdasarkan konsep yang kita pegang. Ada teorinya dan secara data lapangan kita yang paling kenal kemampuan dan kebutuhan anak-anak didik kita. Buat apa menyampaikan sesuatu yang tidak dipahami, atau malah ga ada manfaatnya buat anak. Just wasting the time.
Bu guru, anak-anak kita butuh di pahami, bukan di cetak sesuai maunya kita, apalagi sesuai tuntutan kurikulum.

www.diannovi.com

 

0 comments so far.

Something to say?