Berhasilkah Program Akselerasi Kita?
Sejak tahun ajaran 1998/1999 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengadakan uji coba program akselerasi untuk anak berbakat intelektual. Dengan program ini, lama belajar siswa dapat dipercepat selama satu tahun pada setiap satuan pendidikan. Sekolah Dasar (SD) dari enam tahun dipercepat menjadi lima tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) dari tiga tahun menjadi masing-masing dua tahun. Peserta program ini adalah siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, kreatif, dan tanggung jawab terhadap tugas.
Dalam pelaksanaannya, ternyata ditemukan berbagai masalah. Seorang wakil kepala sekolah salah satu penyelenggara program ini pernah mengisahkan pengalamannya. Dia berujar, ''Selama pelaksanaan akselerasi di sekolah ini, saya menemukan beberapa hal yang aneh. Antara lain siswa terlihat kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul dan, tidak suka pada pelajaran olah raga. Mereka tegang seperti robot. Kami juga dapat laporan dari orang tua bahwa kini mereka sulit berkomunikasi dengan anaknya."
Hal itu, antara lain yang mendorong Nuraida untuk melakukan penelitian. Tim Peneliti Pusbangsitek Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini lebih menitikberatkan pada kecerdasan emosional siswa peserta akselerasi pada tingkat SMU. Dugaannya, kala itu, masalah ini terjadi karena tidak tercapainya salah satu tujuan program akselerasi, yaitu meningkatkan kecerdasan emosional.
Nuraida menuturkan, akselerasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah akselerasi yang berbasis kurikulum nasional. Tingkat SMU, misalnya, ada 13 mata pelajaran: Agama, IPS, PPKN, Bahasa dan Sastra Indonesia, sejarah nasional dan sejarah umum, bahasa Inggris, pendidikan jasmani dan kesehatan, matematika, fisika, kimia, biologi, geografi, olah raga dan seni rupa, ditambah dengan sejumlah ekstra kurikuler. Oleh karena itu, Indonesia memakai jenis akselerasi Telescoping curriculum dan Compacting curriculum.
Alasan pemilihan jenis ini agar siswa tidak meninggalkan salah satu pelajaran tersebut. Jadi siswa mendapatkan semua pelajaran dalam sistem pendidikan nasional. Tekniknya, dengan mengambil pelajaran yang esensial saja sedangkan materi-materi yang tidak esensial bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Tidak perlu tatap muka. Dengan cara seperti ini, siswa dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu lebih cepat.
Kenyataannya, terdapat kesulitan karena sistem pendidikan yang sentralistik. Jumlah pelajaran sangat banyak, namum belum ada layanan individual sesuai dengan bakat dan minat. Karena itu, harus mengakselerasikan 13 mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum nasional. Akibatnya siswa sangat merasa berat karena harus mempelajari semua mata pelajaran dalam waktu yang sangat cepat.
Ini berbeda dengan di Amerika. Di Negeri Paman Sam tersebut, jelas Nuraida, peserta didik yang mengikuti program akselerasi tidak diberikan semua mata pelajaran. Anak berbakat matematika memiliki kurikulum khusus di bidang matematika. Jumlah pelajaran pun tak banyak. Antara lain; computer science, Humanities, Math, science course dan writing course (www.Jhu/Gifted/teaching). Namun mereka mempelajarinya secara luas dan mendalam sekali.
Bagi siswa yang telah menguasai sejumlah pelajaran matematika pada satu tingkatan maka dia perbolehkan mempelajari matematika pada tingkat yang lebih lanjut. Misalnya loncat ke kelas yang lebih tinggi, belajar matematika pada tingkat universitas, kelas gabungan, telescoping kurikulum, dan sebagainya.
Begitulah pelaksanaan program akselerasi di negeri itu. Tujuannya, meningkatkan efisiensi, efektivitas, memberikan penghargaan, kesempatan untuk berkarir lebih cepat dan meningkatkan produktivitas. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena sistem pendidikan mereka sangat fleksibel. Artinya dalam sistem pendidikan mereka, pemerintah memberikan kebebasan kepada tiap negara bagian untuk mengelola pendidikan sesuai bakat dan minat. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu secara garis besar yang harus dimiliki oleh warga setelah lulus.
Jadi. kata Nuraida, bisa dipahami mengapa akselerasi yang dilaksanakan di Amerika berhasil dengan baik dan dalam waktu yang relatif cepat mampu menghasilkan sejumlah saintis. Kurikulum yang mereka kembangkan sangat fokus, tergantung pada bakat yang dimiliki oleh seorang anak. Anak yang berbakat matematika hanya memperdalam matematika dan pelajaran yang serumpun dengannya. Dengan cara ini akan memudahkan anak-anak menguasai pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Inilah teknik mencetak orang ahli dalam bidangnya.
Apakah tujuan pelaksanaan program akselerasi di Indonesia yang telah dirumuskan akan berhasil dengan menggunakan kurikulum nasional bermuatan 13 mata pelajaran? Penelitian Nuraida -- yang menitikberatkan pada aspek kecerdasan emosional -- tidak menemukan pengaruh yang berarti. Itu diketahui setelah melakukan tes kecerdasan emosional pada kelas akselerasi dan dibandingkan dengan siswa kelas reguler pada sekolah yang sama dan umur yang sama.
Hasil tes pengukuran kecerdasan emosional menunjukan bahwa skor kecerdasan emosional siswa akselerasi lebih rendah dari pada siswa reguler. Namun rendahnya tidak signifikan. ''Jadi bisa dikatakan sama dengan siswa kelas reguler,'' tuturnya.
Ini dapat disimpulkan bahwa program akselerasi Indonesia yang berbasis kurikulum nasional belum mencapai tujuan yang telah dirumuskan, seperti meningkatkan kecerdasan emosional. Siswa banyak yang stres, tegang, dan jarang komunikasi. Pada hal menurut hasil penelitian yang dihimpun oleh Barbara Clark (1982) tentang anak berbakat Matematika usia 12-13 tahun pada Universitas John Hopkins Amerika, jelas Nuraida, skor penyesuaian emosional dan sosial peserta program akselerasi di atas rata-rata.
Republika Online