Akselerasi or Acceleration
Blog ini menyediakan berita-berita tentang kelas akselerasi yang menurut sebagian orang sangat "wah". Sebenarnya kelas aksel tidaklah yang seperti kita bayangkan, anak-anak yang pandai, kreatif, cerdas, dan sebagainya. Kita harus lebih memperhatikan psikologis anak-anak aksel dimana mereka seperti kehilangan hidup mereka. Hidup mereka hanya diisi dengan belajar dan belajar. Mari kita tengok realita yang ada.

Tinjauan Pakar Psikologi tentang Program Akselerasi

By wizardxboy

Rabu (6 Juni 2007), bertempat di auditorium Gedung Pusat UGM, Asmadi Alsa dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Psikologi UGM. Dalam pidato pengukuhannya, dosen yang telah mengajar sejak tahun 1977 ini mengangkat masalah program akselerasi SMA ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan.

Berbagai penelitian mengenai siswa unggul dan adanya program akselerasi di berbagai Negara yang berusaha mengakomodasi kebutuhan golongan siswa tersebut, diulas dalam pidato tersebut. Termasuk pula berbagai pro dan kontra mengenai dampak akselerasi dari berbagai aspek. Dimulai dari berbagai penelitian yang dilakukan pada beberapa SMA di Indonesia yang memiliki program akselerasi, guru besar baru Asmadi Alsa menyimpulkan beberapa hal, diantaranya bahwa siswa akselerasi memang memperoleh percepatan dalam hal perkembangan secara kognitif, namun tidak dalam hal afektif dan psikomotoris.

Namun begitu, aktivitas belajar yang padat dapat memacu siswa sehingga memiliki daya juang yang tinggi dalam belajar, karena memang tidak ditemukan adanya dampak negatif dari hal itu. Meski demikian, pemantauan pada semester awal menjadi amat penting dalam rangka melakukan tindakan lanjutan bagi siswa yang ditemukan memiliki potensi tidak cukup mampu melakukan penyesuaian diri dengan tuntutan program maupun juga lingkungan akademik dan sosial yang baru. Bagaimanapun, evaluasi terhadap program akselerasi di Indonesia harus terus dilakukan dari berbagai aspek. Keberhasilan akselerasi di Negara lain tidaklah dapat menjadi pegangan, mengingat kondisi demografis dan sosio-kultural yang berbeda.

Namun, dengan tekad seluruh pihak, terutama Departemen Pendidikan Nasional untuk mengakomodasi kebutuhan adanya pendidikan yang berkualitas bagi semua pihak, termasuk bagi para siswa unggul, semoga saja program akselerasi yang kini telah berjalan (dan kelak akan dikembangkan) dapat menghasilkan calon-calon pemimpin bangsa yang berintegritas tinggi.

Diambil dan disunting seperlunya dari: Artikel Fakultas Psikologi UGM

 

Bina Kelas Akselerasi, Dinas P dan K Gandeng Unair

By wizardxboy
Sunday, 16 December 2007
SURABAYA - SURYA
Keberhasilan program kelas akselerasi menarik minat sejumlah pihak untuk memberi warna agar 'kelas hero' yang bisa membuat siswa SMP dan SMA lulus dalam waktu dua tahun itu makin diminati siswa. Salah satu bentuknya, penandatanganan nota kesepahaman antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Jatim dan Fakultas Psikologi Unair untuk membina sekolah yang membuka kelas akselerasi, Sabtu (15/12).
Dekan Fakultas Psikologi Unair Dr Seger Handoyo mengatakan, lewat kerja sama dengan Dinas P&K Jatim ini pihaknya akan intensif melakukan pembinaan untuk mendorong terwujudnya kualitas pendidikan lewat kelas akselerasi. Selama tiga tahun ke depan, tiga sekolah di Jatim yang membuka kelas akselerasi dan akan dibina yaitu SMPN 1 Surabaya, SMAN 1 Sidoarjo, dan SMAN 1 Jember.
Bentuknya, pihak Unair akan membantu pelaksanaan tes psikologi, tes IQ, dan tes komitmen ketika seleksi siswa baru yang akan masuk kelas akselerasi hingga membuka konseling bagi siswa. “Selain itu, kami juga akan memberikan konsultasi, workshop dan lokakarya kepada guru yang mengajar kelas akselerasi,” ujar Seger usai penandatanganan MoU.
Khusus pembekalan kepada guru, oleh Seger dinilai cukup penting karena berperan penting mengarahkan, memotivasi, dan menjadikan anak-anak dengan kecerdasan istemewa itu tak hanya mampu di bidang akademik (intelektual) tapi juga nonakademik dan soft skill. “Artinya dengan beban siswa yang tinggi, guru kelas akselerasi harus bisa mengimbangi pelajaran yang diberikan dengan hal-hal yang sifatnya refreshing. Misalnya mengajaknya bermain dan kegiatan refresing lainnya,” jelas Seger.
Kepala Dinas P&K Jatim Dr H Rasiyo MSi mengatakan peran guru sangat vital untuk keberhasilan program kelas akselerasi. Kalau guru hanya mencekoki siswa dengan pelajaran terus-menerus tanpa membina psikologinya, siswa bisa berperilaku lain, misalnya punya sifat sok dan sombang atau merasa superior dan lebih pandai dibandingkan teman-temannya yang ada di kelas reguler. “Agar sifat sok tersebut tak muncul, guru harus punya kemampuan lebih untuk membimbing siswa kelas akselerasi,” tandas Rasiyo.
 

Kelas Akselerasi(Bag.2)

By wizardxboy

Nah, kita udah puas ngerasani siswa kelas akselerasi, gimana halnya dengan anak-anak reguler? What we have to do with them?
Gini loh, bu guru, setiap anak itu, mau dilabeli jenius atau tidak, sebenarnya kan telah dibekali talenta dari langit sana. Setiap manusia di cipta untuk tujuan tertentu, ada tugasnya. Lhah ya untuk ngejalanin tugas itu kan butuh tools, butuh skills. Perangkat itu sebenarnya sudah disematkan pada masing-masing diri. Cuma.. ya itu dia, talenta itu ibarat harta terpendam, kita nih, sebagai pendidik, ibarat pemburu harta karun. Harus punya peta, harus mau cape, dan harus punya keyakinan kalo emang harta karun itu ada pada diri anak-anak kita.
Namanya aja harta terpendam, pasti ga mudah dideteksi. Kadang butuh waktu lamaaa sekali sampe kemudian kita sadar tengah membesarkan seorang jenius. Ada timing dimana bakat tersebut baru muncul. Einstein, contohnya, semasa sekolah tidak pernah menunjukkan prestasi akademis. Begitu pula Thomas Alva Edison yang bahkan dikeluarkan dari sekolah karena kebanyakan melamun di kelas.
Pointnya, setiap pendidik harus membangun visi, musti punya kesadaran bahwa setiap anak itu mempunyai potensi yang luar biasa dalam dirinya, yang butuh di stimulasi, di gali, di fasilitasi, agar tumbuh, berkembang sesuai dengan tugas apa yang di embannya dari langit. Bisa dibayangkan betapa mengerikannya kalo para pendidik, tidak memiliki visi mengenai potensi Ilahiyyah ini. Anak hanya diperlakukan sesuai label, kategori yang kita lekatkan hingga si anak pun tumbuh dalam persepsi yang belum tentu benar tentang dirinya sendiri. Hiii… Coba deh, liat penilaian kualitatif di raport anak TK. Umumnya fokus pada kekurangan atau kelemahan anak, ananda A masih belum bisa konsentrasi, tidak mau menyelesaikan tugas, suka menganggu teman, membantah, bla-bla-bla. Kita, sebagai pendidik, jarang sekali melihat (variabel) masalah anak secara reflektif. Permasalahan seperti itu kan baru timbul saat mereka sekolah. Artinya ada treatment yang belum optimal yang bisa melihat/mendeteksi/mengangkat sisi positif anak. Sudah menjadi jadi tugas bu guru berjibaku mencari metoda yang paling pas untuk anak. Harus kepegang milestones, paham tahapan berpikir mereka sampai pada level apa, dan diatas itu semua, pendekatan yang tulus, yang penuh kasih sayang pada anak didik yang biasanya paling sukses melambungkan potensi anak agar berkembang optimal. Menurut saya, mendidik anak itu merupakan proses spiritual bagi guru.
Bayangkan bu, kita ketitipan anak sedemikian banyak dan harus memantau setiap perkembangan mereka, rasanya impossible ga sih? Kecuali dengan pertolongan Allah ta’ala, tentu saja.
Yang utama, bu, dari proses pendidikan itu adalah bagaimana menumbuhkan semangat belajar pada diri mereka. Nah, hanya saja yang harus kita pahami makna belajar itu apa bagi mereka? Ibu guru harus mengembangkan wawasan bahwa makna belajar itu tidak hanya duduk manis di kelas dan menghapal pelajaran. Sebagai guru musti peka akan kebutuhan masing-masing anak, mungkin ada yang tipikal slow-to-warm up, ada yang membutuhkan afeksi lebih dibandingkan anak lainnya, ada yang memang harus dengan pendekatan individual. Gali data mengenai karakter khas setiap anak dari orangtuanya. Setelah itu bu guru harus berani memilah kurikulum mana yang memang sudah sesuai dengan tingkatan mereka, -mau ndak mau harus baca teori perkembangan, kalo dirasa anak-anak masih sulit menangkap maksud dari suatu istilah, ya jangan dipaksakan, kalo perlu di-skip aja. Toh, kita melakukan ini juga berdasarkan konsep yang kita pegang. Ada teorinya dan secara data lapangan kita yang paling kenal kemampuan dan kebutuhan anak-anak didik kita. Buat apa menyampaikan sesuatu yang tidak dipahami, atau malah ga ada manfaatnya buat anak. Just wasting the time.
Bu guru, anak-anak kita butuh di pahami, bukan di cetak sesuai maunya kita, apalagi sesuai tuntutan kurikulum.

www.diannovi.com

 

Kelas Akselerasi(Bag.1)

By wizardxboy

Ini adalah kelas layanan bagi siswa berbakat istimewa atau jenius. Kategori siswa yang dapat menyelesaikan kurikulum lebih cepat dibanding siswa seusianya. SD di lampaui sekitar 4-5 tahun, SMP hanya 2 tahun, SMA demikian pula. Setelah itu? Have no idea..
Akselerasi berarti percepatan. Semakin cepat siswa dapat menyelesaikan materi, semakin jenius ia. Paradoksnya, Semakin lambat siswa menyelesaikan materi, apalagi kalo harus remedy, pertanda ga jenius, at least masuk dalam kategori siswa reguler. Itu premis yang saya pahami.
Apa iya begitu? Lets see..
But, first, tujuan pengadaan kelas akselerasi itu sendiri sebenarnya untuk apa, ya? kenapa harus mempercepat kelulusan siswa? Agar apa? agar lebih cepat mandiri secara ekonomi? Kalo ini yang jadi tujuan, mending kita set-up kurikulum yang lebih ringkas, tidak mesti menempuh 12 tahun masa sekolah. Jadi semua siswa, termasuk yang reguler juga bisa lulus cepat. Mudah-mudahan tidak hanya faktor ekonomi yang jadi pertimbangan seseorang untuk segera lulus..
Di ulas di awal, kelas akselerasi ditujukan bagi siswa berbakat istimewa alias jenius.
Next question: apakah mekanisme percepatan merupakan satu2nya alternatif pelayanan bagi gifted-student? Apakah ukuran kejeniusan seseorang hanya sekedar ditandai dengan cepatnya ia menyelesaikan sekolahnya?
Esensinya, sekolah menjadi sarana stimulasi bagi siswa untuk mengembangkan potensi istimewanya (hidden-treassure). Agar apa? pragmatically: agar memberi manfaat bagi masyarakat. Iya lah, wong ada orang cerdas tapi kok ndak membawa perbaikan, atau memberi manfaat bagi umat ya untuk apa..

Tapi apa mungkin ya kita mengharapkan kontribusi dari si anak cerdas ini kalo di sekolah ia hanya sekedar di tuntut untuk menyelesaikan soal-soal, memberi jawaban benar-salah sesuai petunjuk buku / instruksi guru, tanpa memberi ruang baginya untuk bereksplorasi diri.

Alangkah indahnya, bila siswa di tantang untuk melihat persoalan riil yang ada disekeliling dia dan kemudian membuat suatu project penyelesaian masalah. Persoalan yang diangkat tentu yang sesuai minat dia, entah dalam bidang sains, teknologi, atau sosial. Hasilnya bisa berupa praktek atau sekedar wacana, tentu berdasar observasi dan riset ilmiah. Dengan begitu, siswa jadi bisa mengenali apa yang menjadi interestnya, bisa mandiri dalam berpikir, sekaligus mengaplikasi ilmu yang telah ia pelajari.
www.diannovi.com
 

Quovadis Akselerasi di Tingkat Pendidikan Dasar

By wizardxboy
Wacana akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat menengah pernah menjadi wacana fenomenal dalam dunia pendidikan. Hampir berbagai media massa dari tingkat lokal sampai nasional pernah mempublikasikan tentang wacana tersebut. Berbagai argumentasi pro dan kontra seputar wacana akselerasi pendidikan pernah menghiasi hampir berbagai media baik cetak maupun elektronik.
Ada apa sebetulnya dengan akselerasi pendidikan? Akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan Depdiknas, yang tertuang dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Kepmendikbud nomor 0487/U/1992 untuk Sekolah Dasar.
Esensi dari program akselerasi pendidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa untuk mengikuti percepatan dalam menempuh pendidikannya. Untuk tingkat pendidikan dasar, siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menempuh pendidikannya selama 5 tahun, sedangkan untuk tingkat menengah SLTP dan SLTU siswa dapat menempuh pendidikannya selama 2 tahun.
Secara konseptual, program akselerasi ini cukup bagus relevansinya dalam pengembangan bakat dan kecerdasan anak, yaitu memberikan perhatian yang lebih kepada anak didik yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan yang luar biasa, sehingga mereka bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya secara luas. Tetapi secara praksis, program akselerasi memiliki kelemahan yang sangat signifikan. Pada tataran praksisnya, akselerasi cenderung berorientasi pada tingkatan kognisi saja.
Untuk di tingkat pendidikan menengah, implementasi program akselerasi ini mungkin tidak begitu bermasalah, karena sudah sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak. Tetapi sebaliknya, untuk di tingkat pendidikan dasar, implementasi program akselerasi masih perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Anak-anak yang berada di tingkat pendidikan dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dus, belum saatnya anak dipaksakan untuk berpikir seperti halnya orang dewasa.
Bloom mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembang-kan tiga kemampuan dasar, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut merupakan sebuah entitas integral yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan berdiri sendiri. Antara aspek yang satu dengan aspek lainnya saling berkaitan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan hanya akan dapat tercapai manakala ketiga aspek tersebut dapat diaplikasikan oleh guru secara seimbang dalam proses belajar mengajar.
Berkaitan dengan program akselerasi, mau tidak mau anak didik kita dipacu untuk terus mengejar "nilai". Agar anak didik dapat mendapatkan nilai yang "baik", guru dituntut untuk dapat menyampaikan materinya pada anak didik dengan metode yang tepat dan singkat. Itupun ditambah dengan adanya pelajaran tambahan yang diharapkan dapat membantu anak didik agar nilainya tetap stabil di samping dapat mengejar materi pelajaran agar tidak tertinggal.
Realitas ini mengindikasikan bahwa akselerasi hanya berkutat pada tataran kognisi. Sehingga dalam konteks ini, anak didik yang tingkat kognisinya lemah akan tertinggal, sebaliknya anak didik yang tingkat kognisinya kuat akan melaju terus. Akselerasi tidak bisa melihat "prestasi" anak didik yang sebenarnya, karena prestasi yang sudah ada didapat melalui suatu "perampasan" terhadap hak-hak anak didik.
Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar anak didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada "perampasan" hak-hak anak didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini pada akhirnya berakibat pada teralienasinya dan termarjinalkannya anak didik dari lingkungannya.
Anak didik tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan dunianya atau dengan lingkungannya tentang, bagaimana menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, mengendalikan nafsu dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan masalah emosionalnya. Padahal semua yang berkaitan dengan masalah emosional sangat penting sekali bagi seseorang apabila ia ingin berhasil. Aspek kemampuan kognisi saja tidak cukup bagi seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh aspek kecerdasan kognisi saja, tetapi aspek kecerdasan emosional memegang peranan yang sangat penting. Menurutnya intelektualitas tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa disertai dengan kecerdasan emosional.
Antara kecerdasan kognisi dan kecerdasan emosional merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dalam membentuk keberhasilan seseorang. Akan tetapi, ketika aspek kognisi lebih dominan dalam praksisnya, maka pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita relevansinya dengan program akselerasi adalah mau dibawa kemana anak-anak kita yang berada di tingkat pendidikan dasar?
Pertanyaan ini patut kita cermati dan renungi, bagaimanapun juga akselerasi tidak membuat anak didik memiliki prestasi yang matang sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak, sebaliknya akselerasi telah melahirkan sebuah fenomena baru dalam dunia pendidikan kita, yaitu lahirnya prematurisme pendidikan. Lebih tragis lagi, ungkap Suyanto, model pendidikan "karbitan" seperti akselerasi sebenarnya akan menuai limbah pendidikan yang pada hakikatnya sungguh amat kontraproduktif dan bahkan juga kontraedukasi.
Oleh:
Ilman Soleh, SS
Guru di SD Muhammadiyah Sapen
11 Januari 2007
 

Orang Tua Anak Cerdas Istimewa Dukung Tiadakan Kelas Akselerasi

By wizardxboy

JAKARTA, KOMPAS -Kelas akselerasi dirasakan belum mampu memenuhi layanan pendidikan yang dibutuhkan anak-anak cerdas istimewa untuk bisa mengoptimalkan potensi diri mereka secara keseluruhan. Pendidikan eksklusif yang menekankan kemampuan kognitif ini dikhawatirkan justru membuat anak-anak cerdas istimewa ini tidak mampu untuk mengembangkan kemampuan emosional dan kreativitas yang dibutuhkan untuk bisa berkarya dan hidup dalam masyarakat.

"Kelas akselerasi yang ada sekarang ini cuma pemadatan waktu sehingga anak cerdas istimewa bisa menyelesaikan pendidikan lebih cepat. Pendidikan seperti ini tidak merangsang anak untuk bisa mengenali potensinya dan bersosialisasi. Kami tidak ingin pendidikan akselerasi seperti sekarang ini terus dijalankan buat anak-anak gifted atau anak cerdas istimewa," kata Rachmat W Adi, Ketua Yayasan Adhi Purusa (Perkumpulan Orang Tua Anak Cerdas Istimewa) di Jakarta, Minggu (25/11).

Julia Maria van Tiel, pembina mailinglist orang tua anak cerdas istimewa anakberbakat@yahoogroups.com, mengatakan dalam perkembangan pendidikan anak-anak cerdas istimewa di dunia saat ini, kelas akselerasi justru mulai ditinggalkan. Pendidikan semakin mengarah ke inklusif, di mana anak-anak yang memiliki keragaman potensi dan kondisi belajar bersama. "Pendidikan sekarang dilakukan dengan pendekatan adaptif, di mana materi pendidikan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi murid," jelas Julia.

Untuk pendidikan anak-anak cerdas istimewa, papar Julia, disediakan kurikulum berdiferensiasi. Maksudnya supaya meningkatkan motivasi belajar anak didik, menghindari kebosanan dalam menempuh pelajaran, dan membuat perkembangan anak menjadi lebih baik.

Anak-anak ceras istimewa yang belajar di kelas bersama anak-anak lainnya, bisa diberi layanan pendidikan tambahan dengan pengkayaan berupa tawaran ekstra materi pelajaran untuk pendalaman dan perluasan. Cara lainnya dengan pemadatan atau pemampatan materi pelajaran reguler, paruh waktu dalam kelompok plus atau kelompok plus dengan memberikan ekstra aktivitas atau program yang menantang khusus untuk anak-anak cerdas istimewa.

Kebijakan lainnya adalah dengan percepatan, yaitu berupa lompat kelas. Untuk kebijakan ini perlu pertimbangan mengenai kematangan sosial emosional, kapasitas intelektual, prestasi, adanya lompatan perkembangan didaktik, persetujuan orang tua, dan penerimaan guru.

 

Kelas Unggulan dan Akselerasi, Sebuah Tragedi

By wizardxboy

PROSES penerimaan siswa baru baik di tingkat SD, SLTP maupun SMU segera digelar. Bahkan sudah ada sekolah tertentu yang mendahuluinya. Proses penerimaan siswa tersebut akan segera dilanjutkan dengan penataan kelas sesuai dengan kemampuan peserta didik.

Ada sekolah yang menerapkan pola kelas unggulan dan akselerasi. Namun pola-pola semacam itu hingga detik ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli pendidikan.
Adalah Prof Suyanto -Rektor Universitas Negeri Yogyakarta- dengan tegas menyatakan pengelompokan siswa secara homogen berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas superbaik, amat baik, baik, sedang, kurang, sampai ke kelas “gombal”, tidak memiliki dasar filosofi yang benar.

Yang memprihatinkan, pengelompokan itu disertai program promosi dan degradasi. Siswa yang tidak mampu mempertahankan prestasi akademiknya bisa digusur dari kelas superbaik ke kelas sedang. Bahkan mungkin bisa meluncur ke kelas paling bawah, kelas “gombal”.

Secara psikologis, program yang mendiskriminasikan siswa bisa menimbulkan stigmatisasi pada siswa di kelas “gombal”. Mereka akan kehilangan rasa percaya diri.

Di pihak lain, siswa yang masuk dalam kategori kelas superbaik memiliki kecenderungan arogan, elitis, dan eksklusif. Pendek kata, pengelompokan siswa lebih banyak sesatnya dari pada manfaatnya.

Dalam proses pembelajaran, pengelompokan juga akan menumbuhkan perilaku instruksional yang bias dari guru kepada anak didiknya. Di kelas superbaik, guru bisa tampil penuh gairah karena munculnya fenomena positive hallow effect terhadap anak-anak berotak brilian. Sebaliknya, di kelas “gombal” guru cenderung masa bodoh akibat munculnya fenomena negative hallow effect terhadap kelompok siswa berotak pas-pasan.

Jika program itu terus dipertahankan, justru akan terjadi proses dehumanisasi secara sistematik di sekolah, karena tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang bercorak heterogen.

Penyubur Mediokritas
Namun, pendapat Prof Suyanto tidak sepenuhnya diamini oleh kelompok yang pro kelas unggulan. Prof Liek Wilardjo -fisikawan dari UKSW- justru berpandangan sebaliknya. Menurutnya, anak-anak berbakat dan berotak cemerlang perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka dapat menumbuhkembangkan talenta dan kecerdasannya.

Jika anak-anak berakat dijadikan satu dengan anak-anak yang lamban, mereka akan kehilangan semangat belajar karena jenuh dengan proses pembelajaran yang lamban. Sebaliknya, anak-anak yang kurang pandai akan mengalami kerepotan jika dibiarkan bersaing dengan siswa-siwa pintar.

Kelas heterogen justru akan mempersubur mediokritas, di mana anak-anak cemerlang tidak bisa mengembangkan talenta dan kecerdasannya, mengalami stagnasi dan pemandulan intelektual. Sementara anak-anak lamban hanya “jalan di tempat”.

Kekhawatiran bahwa siswa yang masuk dalam kelas “gombal” akan dihinggapi rasa minder dianggap terlalu berlebihan, karena baru berdasarkan asumsi yang belum diuji kebenarannya. Pengelompokan siswa lamban di dalam kelas tersendiri - seperti halnya yang terjadi di Inggris - justru diyakini dapat memudahkan penanganannya secara khusus.
Pandangan Prof Liek Wilardjo senada dengan Conny R Semiawan (1992) tentang perlunya pengembangan kurikulum berdiferensiasi, di mana peserta didik yang berkemampuan unggul perlu mendapatkan perhatian khusus.

Menurut Prof Conny, kurikulum berdiferensiasi dapat mewujudkan seseorang sesuai dengan kemampuan yang ada padanya, dapat menghadapi masalah dan kompleksitas kehidupan yang berubah akibat peningkatan teknologi dan perubahan nilai-nilai sosio-kultural.

Pro-kontra tentang kelas unggulan semakin menarik disimak ketika belakangan ini juga muncul program yang hampir sama, yaitu kelas akselerasi, di mana anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi bisa menamatkan belajarnya lebih cepat. Misalnya, SLTP/SMU bisa ditempuh hanya dua tahun.

Persoalannya, apakah program kelas unggulan atau akselerasi mampu mendongkrak mutu SDM kita yang dinilai masih berada pada aras rendah? Apakah ada jaminan, anak-anak berotak cerdas yang jumlahnya hanya beberapa gelintir yang telah sukses menempuh program kelas unggulan, atau akselerasi mampu menjadi generasi cerah budi yang memahami dinamika hidup yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya? Jangan-jangan program kelas unggulan itu dibentuk hanya berdasarkan sikap latah.

Ingin meniru pendidikan gaya Barat, Inggris misalnya, dengan dalih untuk meningkatkan mutu SDM dan daya saing bangsa di tengah-tengah percaturan global, tanpa disesuaikan dengan konteks sosial-budaya masyarakat kita.

Kalau ini yang terjadi, dunia pendidikan kita telah lepas dari lingkaran dan dinamika kehidupan kontekstual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Implikasinya, out-put yang dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah generasi-generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan hati nurani dan spiritual. Pada akhirnya justru membikin mereka menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat bagaikan “rusa masuk kampung”. Tidak memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.

Problem-problem eksistensi kita, menurut Anton Naben (2001), adalah krisis moral yang merambah hampir di semua lini kehidupan dengan segala dampaknya. Kita amat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual dan apresiasi tinggi terhadap nilai-nilai kejujuran, yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan. Yang menabur benih kerukunan bila terjadi silang sengketa, yang memberikan kepastian bila terjadi kebimbangan. Yang menegakkan kebenaran bila terjadi beragam bentuk penyelewengan dan kesesatan. Yang menjadi pembawa terang di tengah kegelapan hidup.

Saat ini, nilai-nilai kejujuran -meminjam istilah Abd. A’la (2002)- sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan. Budaya malu sudah nyaris hilang dari memori bangsa. Korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, dan sejenisnya marak terjadi di mana-mana. Perilaku keagamaan hanya sampai pada tataran ekstrinsik. Agama hanya dijadikan sebagai topeng untuk pencapaian kepentingan. Para elite pemimpin tidak bisa jadi teladan bagi anak-anak bangsa. Yang terjadi justru sebuah kebanggaan bila mereka mampu melakukan pembohongan publik sehingga terlepas dari jerat hukum yang mengancam mereka atas perbuatan korup yang telah dilakukan. Sementara itu di atas akar rumput, sentimen kesukuan dan etnis, anarkhisme yang dibungkus fanatisme keagamaan, main hakim sendiri, dan kekerasan lainnya menjadi adonan perilaku yang gampang disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pencerahan Peradaban
Dalam kondisi demikian, dunia pendidikan kita harus mampu memosisikan diri sebagai pencerah peradaban, menjadi media katharsis yang mampu memuliakan martabat kemanusiaan hakiki, di mana nilai-nilai kejujuran dan kesalehan hidup baik pribadi maupun sosial bersemayam dan bernaung dalam hati nurani bangsa. Sekolah harus mampu menjadi ikon masyarakat mini, yang menggambarkan suasana dan panorama hidup bermasyarakat multikultur, di mana anak-anak banyak belajar menginternalisasi dan mengapresiasi perbedaan dan heterogenitas dalam segala aspeknya. Dengan demikian, setelah terjun ke masyarakat, mereka bisa tampil inklusif, egaliter, tidak elitis, memiliki empati, dan tidak besar kepala. Hal ini tentu sulit dicapai jika anak-anak yang tengah menuntut ilmu di bangku sekolah dikelompokkan secara homogen, sehingga mereka tidak pernah memiliki kesempatan belajar memahami dan menghargai perbedaan dalam arti yang sesungguhnya.

Pengalaman menunjukkan pendidikan yang lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat materialis, ekonomis, dan teknokratis demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa seperti yang gencar diteriakkan dengan lantang pada masa Orde Baru kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti.

Yang kita khawatirkan, kelas unggulan yang mendewakan kecerdasan intelektual semacam itu hanya akan melahirkan tamatan pendidikan yang cerdas, pintar, dan terampil, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai. (33)
(Suara Merdeka, Selasa, 2 Juli 2002)

 

Kelas Akselerasi Belum Efektif ?

By wizardxboy

Sabtu, 24 November 2007



Kelas Akselerasi Belum Efektif ?
Pembelajaran Belum Berbasis Bahasa Inggris

Jakarta, Kompas - Kelas akselerasi yang dijalankan sejumlah sekolah belum efektif
menumbuhkan potensi dalam diri anak-anak berbakat karena hanya mengejar anak cepat lulus. Fasilitas-fasilitas lain yang mendukung kebutuhan anak dengan kecerdasan di atas- rata-rata dan bakat berbeda-beda ini belum sepenuhnya diperhatikan.
Perombakan model seperti yang diinginkan pemerintah belum dapat dilaksanakan.
Murid akselerasi masih belajar di kelas khusus. Pembelajaran juga tidak berbahasa
Inggris seperti yang diinginkan. Pembelajaran juga belum sepenuhnya berbasis teknologi informasi. Anggota staf pengendali mutu SMP Negeri 19, Jakarta, Hambali, Jumat (23/11), menjelaskan, hampir tidak ada perbedaan antara kelas reguler dan kelas akselerasi. Dari sarana ruang kelas, tenaga pengajar, sampai materi pelajarannya sama. Hanya, di kelas percepatan bahan pengajaran harus selesai lebih cepat.
Tuntutan itu menjadikan kelas khusus ini kurang efektif. Ia menyebutkan,
"Anak-anak agaknya terlalu lelah karena tugas yang bertumpuk. Tidak jarang mereka pulang sore." Sebagai indikator, Hambali menambahkan, nilai ujian akhir siswa di kelas akselerasi tak lebih tinggi dari siswa di kelas reguler unggulan. "Dalam daftar sepuluh besar, tahun ini hanya tiga yang dari kelas akselerasi, yang lain dari kelas reguler," ujar Hambali. Kesulitan pun ditemui guru ketika harus mempersiapkan materi pengajaran kepada siswa. Ahmad Subeki, pengajar Fisika di SMPN 19, mengakui kekurangan waktu dalam mempersiapkan bahan untuk mengajar. Di SMAN 70, perbedaan pelayanan antara kelas akselerasi dan reguler yang kentara ialah perbedaan kalender pendidikan. Murid kelas akselerasi juga diarahkan untuk jurusan IPA saja. "Anak lulus dalam waktu dua tahun," ujar Koordinator Program Percepatan/Akselerasi di SMAN 70 Jakarta, Risda Wahab.
Biasanya guru hanya mengajar esensinya. Murid harus belajar sendiri. Itu sebabnya, anak-anak kelas akselerasi disaring dengan tes IQ. Murid di kelas X akselerasi SMAN 70, misalnya, ber-IQ 125-129. Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Silviana Murni mengatakan, seharusnya sekolah yang membuka kelas akselerasi juga memberi fasilitas khusus. Misalnya, laboratorium khusus untuk siswa yang senang pelajaran tertentu. Siswa kelas VII akselerasi di SMPN 19 yang ditemui mengungkapkan keinginan mereka untuk lulus cepat. "Kalau materi, enggak ada yang beda dengan kelas lain. Kami hanya lebih cepat," ujar Astrid (12), ketua kelas khusus dengan IQ di atas 130. Di setiap kelas ber-AC dan disediakan satu komputer dan televisi. Nyaris tidak ada perbedaan dengan kelas lain, kecuali jumlah siswa. Astrid dan teman-temannya mengaku sering kewalahan karena banyaknya tugas sekolah. Ny Hermin, orangtua dari murid akselerasi kelas X SMAN 70, mengatakan, putranya siap masuk kelas akselerasi karena sudah terbiasa mandiri. "Ketika pindah sekolah di Jepang karena perbedaan sistem pendidikan, anak saya turun satu tingkat. Ketika kembali, ia senang sekali ada kelas akselerasi," katanya.
 

KELAS AKSELERASI DIUBAH?

By wizardxboy

Jumat, 23 November 2007

Kelas Akselerasi Diubah ?
Pembinaan Potensi Anak Kurang Jelas

Jakarta, Kompas - Pemerintah memutuskan untuk mengubah total pelaksanaan kelas
akselerasi bagi anak berbakat istimewa mulai tahun ini karena dianggap tidak
jelas arahnya. Kelas akselerasi telah berlangsung selama beberapa tahun, mulai dari TK
hingga SMA, di sejumlah daerah.
Hal itu dikemukakan Direktur Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan
Nasional Eko Djatmiko, Kamis (22/11). Di sekolah-sekolah reguler, murid yang ber-IQ lebih
dari 125 dikumpulkan dalam kelas tersendiri. Terdapat lebih dari 130 sekolah dari tingkat
TK hingga SMA di Indonesia yang menyelenggarakan program kelas akselerasi dengan
murid lebih dari 3.000 orang.
"Definisi program akselerasi selama ini hanya dimaknai sebagai kelas percepatan
sehingga masa studi lebih pendek. Sebagai contoh, dari SMA yang tadinya tiga tahun
menjadi dua tahun. Seluruh mata pelajaran dipadatkan saja materinya," ujar Eko Djatmiko.
Selain itu, anak-anak dalam kelas tersebut dikhawatirkan cenderung menjadi
eksklusif karena selama berada di sekolah ada di kelas khusus. Belum lagi masalah
ketidaksesuaian umur dengan jenjang pendidikan.

Tidak jelas

Pembinaan potensi anak-anak yang tergabung dalam kelas tersebut juga masih
kurang jelas. Setelah anak-anak itu lulus dari satuan pendidikan, untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan berikutnya mereka tetap mengikuti tes seperti siswa lain umumnya.
Mereka tidak disalurkan dengan pembinaan yang berkesinambungan ke jenjang berikutnya.
"Padahal, program ini dimaksudkan untuk pembinaan anak berbakat istimewa.
Orangtua murid yang sudah memfasilitasi anaknya untuk ikut program itu dibingungkan
dengan tujuan akhir dari kelas tersebut," ujar Eko.
Oleh karena itu, pedoman pelaksanaan kelas akselerasi itu diubah. Kelas itu
bukan sekadar program percepatan tahun bersekolah, melainkan merupakan pengayaan dan
pendalaman bagi anak, khususnya untuk Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Sekolah yang membuka kelas akselerasi harus menyelenggarakan pembelajaran di
kelas berbeda untuk mata pelajaran MIPA. Mata pelajaran lainnya diselenggarakan di
kelas reguler. Pembelajaran MIPA juga harus menggunakan pengantar Bahasa Inggris dan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Julia Maria van Tiel dari Yayasan Adhi Purusa (yayasan yang peduli pada anak
cerdas istimewa) mengatakan bahwa banyak orangtua yang tidak mengerti mendidik anak
berbakat sehing- ga justru dianggap anak bermasalah.
 

Tinggalkan Kelas Akselerasi, Masuk Kelas Inklusi

By wizardxboy
Oleh
Julia Maria van Tiel

JAKARTA-Hingga kini kita hanya mengenal kelas akselerasi (percepatan) untuk anak-anak berbakat (gifted children) Indonesia. Sesungguhnya kelas akselerasi sudah banyak ditinggalkan.
Keuntungannya memang anak didik dapat didorong agar berprestasi lebih cepat. Sayangnya, anak berbakat muda yang tengah berkembang, namun setengah dari populasi itu justru underachiever. Ini karena tumbuh kembang mereka berbeda dari anak normal, yang menyebabkan kesulitan dalam menerima pembelajaran konvensional.
Sekalipun mereka mempunyai loncatan perkembangan kognitif dan motorik kasar, terapi mereka dapat tertinggal pada kematangan perkembangan, baik fisik, emosi, motorik halus, adaptasi, sosial, bahasa, dan bicara. Ini yang menyebabkan ketidaksiapan menerima pembelajaran. Bisa juga karena membutuhkan pendekatan khusus, mereka sulit berprestasi di kelas konvensional atau klasikal.
Mereka membutuhkan pendekatan dua arah sekaligus. Mengeliminasi kesulitan akibat perkembangannya yang unik, dan juga sekaligus keberbakatannya. Jika hanya mengatasi beberapa masalah saja, dari banyak laporan, justru hanya akan menambah masalah baru. Ini disebabkan karena dorongan internal anak-anak berbakat adalah memenuhi rasa keingintahuannya yang besar melalui eksplorasi dan pengembangan intelektualitasnya. Ini membutuhkan penyaluran dan pemenuhan kebutuhan.
Andaikan hanya mengupayakan kelas akselerasi saja, anak ini tidak akan terdeteksi sebagai anak berbakat dan juga tidak akan menerima pendidikan sebagaimana keunikan, kesulitan, dan kebutuhannya. Kesemua ini mengancam nasibnya di kemudian hari.
Apa yang dibutuhkannya dalam pendidikannya adalah bimbingan guru yang memahami berbagai karakteristiknya, personalitasnya, tumbuh kembangnya, gaya berpikir, dan gaya belajarnya, yang memang berbeda dari anak-anak normal pada umumnya.
Mereka butuh pendekatan pembelajaran dua arah sekaligus. Pertama ke arah kesulitannya di mana ia membutuhkan dukungan, stimulasi, terapi, remedial teaching, dan kesabaran. Kedua, membutuhkan berbagai materi yang sesuai dengan karakteristik berpikir seorang anak berbakat yang lebih kepada materi yang penuh tantangan pengembangan kreativitas dan analisis.
Sekolah reguler yang mampu menerima anak-anak berbakat agar dapat mengikuti pendidikan saat di fase-fase sulitnya di kelas-kelas sekolah dasar bersama anak normal lainnya, sekaligus juga menerima layanan pengembangan keberbakatan, disebut sekolah inklusi.
Guru diharapkan dapat membimbingnya menapaki tahapan tumbuh kembangnya yang sulit tersebut dalam situasi aman agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dalam lingkungan yang nyaman. Sebab anak-anak berbakat yang mempunyai gejala mirip dengan autisme ataupun ADHD, tidak layak jika diterapi dan dididik sebagai autisme atau ADHD, karena sekalipun mempunyai gejala yang mirip namun mempunyai perbedaan yang tegas, serta neurobiologis dan akar permasalahan yang berbeda.
Guna memenuhi hal ini, guru perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan yang memadai dan selalu mengikuti penyegaran keilmuan guna mengikuti perkembangan strategi pengajaran yang didukung oleh hasil-hasil penelitian mutakhir (evidence based practice) yang kini sangat pesat berkembang.

 

Kelas Akselerasi Lebih Mahal

By wizardxboy

Jakarta - Para murid kelas akselerasi membayar lebih mahal ketimbang mereka yang belajar di kelas reguler. Kondisi ini berbeda dengan negara lain, seperti Singapura yang justru memberikan beasiswa bagi anak cerdas berbakat dan kelanjutan pendidikan mereka diperhatikan pemerintah.

Berdasarkan pemantauan pada Sabtu (24/11), murid kelas XII akselerasi di SMAN 70 Jakarta, misalnya, dikenakan iuran sekolah Rp 350.000 per bulan. Jumlah tersebut lebih tinggi sekitar Rp 100.000 dibandingkan dengan iuran murid kelas reguler.

Koordinator program percepatan atau akselerasi SMAN 70, Risda Wahab, mengatakan, keputusan mengenai iuran tersebut diputuskan oleh komite sekolah dan orangtua murid akselerasi. “Karena waktu pendidikan dipercepat, orangtua mengambil kebijakan untuk menambah sumbangan dan sifatnya sukarela. Sekolah tidak menentukan,” ujarnya.

Di SMP 19 Jakarta, awalnya sekolah mematok uang sumbangan pendidikan Rp 5 juta khusus untuk kelas akselerasi. Jumlah itu lebih besar Rp 2 juta dari kelas reguler yang standar minimumnya Rp 3 juta. Namun, dalam praktiknya, sekolah memberikan sejumlah keringanan kepada siswa berpotensi, tetapi kurang mampu secara ekonomi.

“Bagi saya tidak masalah. Apalagi fasilitas sekolahnya bagus dan anak saya akan bisa lulus lebih cepat,” kata Iis (40), orangtua murid kelas akselerasi di SMP 19 Jakarta.

Sementara itu, di sekolah lain, Wakil Kepala SMP 115 Jakarta Lily Handasah mengatakan, di kelas akselerasi orangtua murid membentuk komite kelas yang bersedia memfasilitasi segala kebutuhan kelas tersebut. Sampai saat ini, orangtua murid telah memberikan satu LCD proyektor sebagai fasilitas tambahan di kelas.

Ada kritik
Meski demikian, ada sejumlah kritik yang dilontarkan terhadap penyelenggaraan kelas akselerasi. Rachmat W Adi, Ketua Yayasan Adhi Purusa (Perkumpulan Orang Tua Anak Cerdas Istimewa), di Jakarta mengatakan, kelas akselerasi yang ada sekarang ini cuma pemadatan waktu sehingga anak cerdas istimewa bisa menyelesaikan pendidikan lebih cepat. “Pendidikan seperti ini tidak merangsang anak untuk bisa mengenali potensinya dan bersosialisasi,” kata Rachmat.

Julia Maria van Tiel, pembina mailinglist orangtua anak cerdas istimewa, mengatakan, di dunia kelas akselerasi mulai ditinggalkan. Pendidikan untuk anak cerdas istimewa kini semakin mengarah ke inklusif, agar anak bisa bersosialisasi dan menghargai keberagaman. (Kompas)

 

Target Akselerasi Pendidikan Dihadang Banyak Masalah

By wizardxboy

BANDUNG, (PR).-
Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Iwan Hermawan, pesimistis program akselerasi pendidikan di Jawa Barat terlaksana sesuai target. Menurut Iwan, program akselerasi di Jawa Barat menghadapi berbagai permasalahan yang akan menghambat tercapainya target IPM sebesar 80 pada 2010.

Hal ini diungkapkannya dalam diskusi publik “Membedah Persoalan Pendidikan Jawa Barat” di Aula Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Jumat (31/3). Dalam kesempatan ini, Iwan memaparkan enam masalah yang mengancam suksesnya program akselerasi pendidikan. Minimnya, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dinilai Iwan sebagai penyebab utama lambannya program ini.

Iwan berpendapat, APBD sektor pendidikan belum memenuhi tuntutan konstitusi, yaitu 20% dari APBD. Akibatnya, sumbangan pendidikan dari masyarakat jauh lebih besar daripada pemerintah. Hal ini juga menyebabkan masyarakat miskin masih harus menanggung biaya pendidikan yang mahal.

Penyebab lainnya adalah penyebaran pendidikan yang tidak merata. “Yang miskin masih bersekolah di sekolah miskin. Dengan anggaran sekolah yang minim, fasilitas minim, kapan mereka bisa maju?” katanya. Sementara itu, kebanyakan anak orang mampu bersekolah di sekolah yang tergolong elit dan bagus.

Dia menilai, pemerintah daerah masih belum adil dalam memberikan subsidi kepada sekolah. “Sekolah miskin subsidinya kecil, sedangkan sekolah yang kaya mendapat subsidi banyak, karena pemerintah melihat dari anggaran sekolahnya,” ungkapnya.

Iwan juga menilai kebijakan pemerintah melakukan ujian nasional (UN) tidak adil. Ujian nasional adalah standar kelulusan nasional. Padahal, disparitas sekolah masih tinggi. Sekolah di kota kualitasnya tidak bisa disamakan dengan sekolah pinggiran, sebab fasilitasnya pasti berbeda.

Selain itu, anggaran yang berbeda membuat sekolah di pinggiran tidak akan bisa mengejar sekolah unggulan di kota. Dengan begitu, standar kelulusannya pun tidak bisa disamaratakan. “Startnya saja tidak sama, bagaimana sampai ke finishnya bisa sama?” katanya.

Siswa juga masih dijejali mata pelajaran yang belum tentu sesuai dengan kebutuhannya. “Semua mata pelajaran itu penting, tapi belum tentu sesuai dengan kebutuhan siswa,” ujarnya. Hasilnya, banyak mata pelajaran yang diberikan kepada siswa, tetapi siswa malah tidak mengerti semua yang didapatnya.

Untuk menghadapi hambatan itu, Disdik Jabar mengambil kebijakan, di antaranya memberikan subsidi kepada siswa dari keluarga kurang mampu. Kartu bebas biaya sekolah (KBBS) dinilai Kepala Subdinas Pendidikan Dasar, Bambang Sutrisno, telah menaikkan angka partisipasi murni (APM) Jabar.

Menurut dia, APM tahun 2004 hanya 59, tetapi dengan adanya KBBS, tahun 2005 naik menjadi 66,19. “Ini kenaikan terbesar yang pernah dialami oleh Jabar,” ujarnya.

Dia juga mengakui, Disdik Jabar harus kerja ekstra keras untuk mencapai APM 78 pada tahun 2006 ini. Diharapkan, peluncuran KBBS, bantuan gubernur untuk siswa (Bagus), dan subsidi lain dari pemerintah dapat mengatrol kenaikan APM.