Akselerasi or Acceleration
Blog ini menyediakan berita-berita tentang kelas akselerasi yang menurut sebagian orang sangat "wah". Sebenarnya kelas aksel tidaklah yang seperti kita bayangkan, anak-anak yang pandai, kreatif, cerdas, dan sebagainya. Kita harus lebih memperhatikan psikologis anak-anak aksel dimana mereka seperti kehilangan hidup mereka. Hidup mereka hanya diisi dengan belajar dan belajar. Mari kita tengok realita yang ada.

Kelas Akselerasi Bisa Perkosa Perkembangan Anak Didik

By wizardxboy

Malang, Kompas - Perwujudan kelas akselerasi harus dilakukan secara saksama, sehingga benar-benar bisa mendorong perkembangan anak berbakat secara optimal dan tuntas. Jangan malah memperkosa perkembangan kepribadian anak. Hal itu dikemukakan pakar pendidikan Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) Dr Hendyat Sutopo kepada Kompas di Malang, Kamis (30/5).

Pada hakikatnya kelas akselerasi harus dibedakan dengan kelas khusus anak berbakat. Kelas khusus itu hanya mengumpulkan anak-anak keberbakatan dan memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam satu kelas. "Kalau ini gampang dikelola. Yang penting anak pintar dikumpulkan, dijejali materi pelajaran agar waktu belajarnya lebih cepat selesai. Yang mestinya selesai tiga tahun menjadi dua tahun, misalnya," katanya.

Kelas akselerasi itu bukan merupakan kelas khusus, tetapi tetap kelas reguler dengan murid yang memiliki tingkat kemampuan dan keberbakatan heterogen. Murid-murid itu secara individual diberi kesempatan untuk berkembang sesuai kemampuan, kecepatan, dan irama belajarnya. Biarkan anak di sekolah mengeluarkan kemampuannya secara maksimal. Yang penting tuntas.

"Jadi, tes hasil belajar tidak harus dilakukan secara serentak. Kalau ada murid yang sudah siap, seorang guru harus melayani. Anak mendapat program pengayaan. Dengan demikian, kalau anak selesai dengan waktu lebih cepat, hal itu bukan karena paksaan, tetapi berjalan apa adanya atau alamiah," katanya.

Yang penting, kelas akselerasi harus didasarkan paradigma bahwa anak harus berkembang secara optimal segala aspek secara alamiah. Tidak cukup hanya aspek pengetahuan, tetapi juga aspek emosional, dan sosial.

"Inilah yang rawan kalau kelas akselerasi dipahami seperti kelas khusus. Bisa jadi pengelola akan berbuat apa saja, yang penting proses belajar-mengajar selesai lebih cepat. Yang mestinya tiga tahun bisa rampung dua tahun, sehingga bisa mengikuti ujian akhir nasional (UAN) atau ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN)," katanya.

Percepatan waktu demikian mudah dicapai. Ia mencontohkan bagaimana pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) yang seharusnya untuk satu caturwulan, bisa diselesaikan dalam waktu satu hari untuk anak-anak yang dipersiapkan ke Olimpiade MIPA.

Akan tetapi, menurut dia, sekolah lantas seperti kursus belaka. Anak hanya dijejali pengetahuan. Ini jelas menyalahi hakikat pendidikan yang mengembangkan anak secara keseluruhan, baik emosional, intelektual, sosial, maupun keterampilan. Pola pendidikan yang demikian akan menimbulkan masalah kepribadian.

Hendyat mencontohkan sistem pendidikan Program Pendidikan Sekolah Perintis (PPSP) yang pernah dikelola IKIP Malang. Proses belajarnya menggunakan sistem modul. Anak terbukti mampu mengakselerasi proses belajarnya, namun ternyata anak mengalami masalah sosial dan emosional. Misalnya, anak hanya berkumpul dengan anak pandai. Tatkala melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, harus berada satu kelas dengan murid yang usianya lebih banyak, ternyata anak mengalami hambatan proses sosialisasi.

Ia mengingatkan, kelas akselerasi banyak hambatan karena menyangkut sistem di luarnya. Ia mencontohkan, anak yang selesai 2,5 tahun di bangku sekolah menengah umum (SMU). Apakah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mau mengeluarkan ijazah pada semester ganjil. Anak harus menunggu pula untuk masuk perguruan tinggi negeri, karena UMPTN atau seleksi masuk PTN dilakukan setahun sekali. Demikian pula anak sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) yang selesai 2,5 tahun, tetap harus menunggu untuk melanjutkan ke SMU.

Untuk itulah, pengadaan kelas akselerasi harus disertai dengan kebijakan Depdiknas terhadap sistem pendidikan nasional. Misalnya, mau mengeluarkan ijazah pada semester ganjil. Memberikan fasilitas kelanjutan jenjang pendidikan secara berkesinambungan. "Janganlah kelas akselerasi menimbulkan kekecewaan kepada anak," katanya.
 

0 comments so far.

Something to say?