Akselerasi or Acceleration
Blog ini menyediakan berita-berita tentang kelas akselerasi yang menurut sebagian orang sangat "wah". Sebenarnya kelas aksel tidaklah yang seperti kita bayangkan, anak-anak yang pandai, kreatif, cerdas, dan sebagainya. Kita harus lebih memperhatikan psikologis anak-anak aksel dimana mereka seperti kehilangan hidup mereka. Hidup mereka hanya diisi dengan belajar dan belajar. Mari kita tengok realita yang ada.

Akselerasi, program anak cerdas

By wizardxboy
Jakarta (Republika: 08/10/04) Sekitar 20 persen siswa SD dan SLTP di beberapa provinsi memiliki kemam¬puan dan kecerdasan luar biasa namun berisiko tingga kelas. Mengapa demikian? Penyelenggaraan kelas akselerasi (percepatan belajar) dianggap salah satu alternatif bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata rata. Ini dilakukan untuk mengimbangi kekurangan yarig terdapat pada kelas klasikal yang bersifat massal. Melalui program ini memungkinkan siswa dapat menyelesaikan waktu belajar lebih cepat dari yang ditetapkan.

Adalah Dr Herry Widyastono MPd yang mencoba mengelompokkan kecerdasan dan kemampun siswa dalam tiga strata: anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata rata, rata rata, dan di bawah rata rata. Siswa di bawah rata rata memiliki keeepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa umumnya. Sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata rata memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar siswa siswa lainnya.

Siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan rata rata, menurut dia, selama ini diberikan layanan pendidikan dengan mengacu pada kurikuluin yang berlaku secara nasional. Itu karena kurikulum tersebutdisusun terutama diperuntukkan bagi anak-anakyangmemilikikemampuandan kecerdasanrata-rata. Siswa dengan kemampuan dibawah rata-rata, diberikan layanan pengajaran remidi (remedial teaching).¬

Bagaimana dengan siswa dengan kemampuan diatas rata rata? Herry yang berbicara dalam seminar Program Percepatan Belajar bagi Pengawas dan Kepala SMP Negeri dan Swasta di Jakarta, pekan lalu mengatakan, mereka belum mendapat layanan pendidikan sebagaimana mestinya., "Bahkan, kebanyakan sekolah memberikan perlakuan yang standar (rata rata), bersifat klasikal dari massal, terhadap semua siswa, baik siswa di bawah rata rata, raat-rata, dan di atas rata rata, yang sebenarnya memiliki kebutuhan berbeda," ujarnya.

Akibatnya, ungkap Penanggungjawab kegiatan Penelitian danP engembangan bagi Anak Berbakat pada Pusal Kurikulum, Balitbang, Departemen Pendidikan Nasional itu, siswadi bawah rata rata yang memiliki kecepatan belajar di bawah rata¬-rata akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Siswa di atas rata rata akan jenuh karena harus menye¬suaikan diri dengan kecepatan belajar siswa siswa lainnya.

Herry lalu mengungkapkan akibat lanjut¬an. Mengutip Yaumil (1991), dia bilang, “Sekitar 30 persen siswa SMA di Jakarta yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berprestasi di bawah, potensinya. Herry juga menemukan ada 20 persen siswa SLTP dan SD di Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, berisiko tinggal kelas karena nilai rata rata rapornya untuk semua mata pela¬jaran catur wulan 1 dan 2, kurang dari enam.

Bagi siswa dalam kategori ini, menurut dia, perlu ada pelayanan pendidikan khusus. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan itu tadi, dengan menyeleng¬garakan akselerasi, program percepatan belajar. Dan kenyataannya, sejumlah sekolah, terutama di DKI Jakarta, sudah menerapkan program semacam ini kepada anak didiknya.

Masih bersifat klasikal-massal

Para guru yang tergabung dalam Musyawarah Kepala Sekolah Penyelenggara Program Akselerasi (MKS¬PPA) DKI Jakarta memandang, penyeleng¬garaan pendidikan secara regu1er yang dilaksanakan selama ini masih lebih banyak bersifat klasikal massal, yaitu berorientasi pada kuantitas untuk dapat melayani sebanyak banyaknya, jumlah siswa. Kelemahan yang tampak dari penyeleng¬garaan seperti:ini adalah tidak terako¬modasinya kebutuhan individual siswa di luar kelompok normal.

Sebagaimana halnya Herry, MKS PPA melihat, dengan sistem ini, siswa yang memiliki potensi kecerdasandanbakat stimewa tidak terlayani secara baik sehing¬ga potensi yang dimiliki dak dapat tersalurkan atau berkembang secara optimal. Berdasarkan pengalaman, siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa cenderung lebih cepat menguasai materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Akibatnya, mereka harus menunggu siswa lain yang memiliki kurang kemampuan dan kecerdasan dari padanya.

Bagaimana sistempelayanan belajardalam program akselerasi? Drs Edy Junaedi, Sastradiharja, MPd dari sekolah AlAzhar Syifa Budi Jakarta dalam seminar yang sama menyebut beberapa cara: sekolah khusus, kelas khusus, dan program khusus. Untuk mengantisipasi timbulnya sikap ekslusifisme dan mendorong tumbuhnya keterampilan sosial (social skill), menurut dia, dapat dilakukan manajemen kelas dengan beberapa pola sistem pelayanan belajar.

Antara lain, pengelompokan siswa dalam kelas khusus. Siswa yang memenuhi persyaratan masuk kelas percepatan belajar kelas tersendiri walaupun jumlahnya sedikit; tidak seperti kelas lainnya, "Bahkan apabila jumlah siswa yang terjaring cukup banyak, misalnya melebihi 22 siswa, akan lebih baik dibuat dua kelas yang lebih kecil sehingga setiap siswa akan mendapat kesempatan belajar lebih banyak,” dia menuturkan.

Selain itu, dapat pula dilakukan penge¬lompokan siswa dalam kelas khusus dengan semi inklusi. Yaitu, pada sebagian mata pelajaran siswa belajar bersama sama dengan kelas reguler. Misalnya, pada mata pelajaran yang bersifat vokasional'seperti olahraga, kesenian, komputer, muatan lokal Alquran, dan mata pelajaran lain yang lebih banyak menekankan kepada kompetensi dasar keterampilan psikomotorik maupun afektif

Menurut dia, pengembangan strategi pembelajaran perlu diarahkan pada terwujudnya proses belajar tuntas melalui pendekatan siswa belajar aktif dan kreatif dengan penekanan pada pemilihan materi esensial sesuai indikator indikator hasil belajar pada setiap kompetensi dasar dalam kurikulum. yang berlaku.

Juga perlu lebih banyak rrienggunakan metode inquiry (penelitian/penyelidikan) dan discovery (penemuan), di samping metode lainnya dalam rangka memberikan proses belajar yang ‘bermakna. "Sehingga siswa bukan hanya tahu sesuatu tapi bisa melakukan sesuatu," ujarnya.

Edy juga menyatakan perlunya memodifikasi model pembelajaran agar lebih menarik dan menantang, Misalnya, mendatangkan sumber belajar asli langsung ke dalam kelas, seperti pelaku sejarah, sutradara, presenter ternama, dokter, pengusaha, atau sumber belajar lainnya sesuai kebutuhan mata pelajaran dan tuntutan, kompetensi dasar. Atau sebaliknya, membawa siswa untuk belajar di luar kelas dengan mendatangi sumber-sumber belajar melalui kegiatan field trip.

Senada dengan Edy Junaedi, Drs, Fakhruddin MPd, wakil kepala SMA, Labschool Rawamangun menyebut tiga bentuk atau model penyelenggaraan program akselerasi yang dapat dilakukan. Yakni, program khusus, kelas khusus, dan sekolah khusus. Namun dia menyatakan, setiap bentuk memiliki kelebihan dan kekurangan.

Model sekolah khusus yang memberikan layanan pada suatu sekolah khusus diperuntukkan bagi siswa akselerasi (berasrama maupun tanpa berasrama), misalnya. Kelebihan dalam sekolah berasrama, waktu belajar bisa lebih panjang dan memudahkan kegiatan ekstrakurikuler.

Tanpa berasrama, memudahkan perencanaan kegiatan dan ada interaksi dengan sekolah lain. Kekurangannya, sekolah berasrama tidak sesuai untuk jenjang SD, sedangkan tanpa berasrama akan timbul elitis yang kurang baik.

Bagaimanapun, menurut Herry Widyastono, penyelenggataan kelas akselerasi bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan salah satu strategi alterhatif yang relevan, karena mereka memiliki kecepatan belajar dan motivasi belajar di atas siswa-siswa lainnya.

Namun, kata dia; ini tidak berarti peningkatan mutu pendidikan untuk peserta didik secara klasikal massal ter¬abaikan, melainkan perbedaannya terletak pada intensitas dan ektensitas perhatian yang diberikan kepada peserta didilk sesuai dengan kondisi mereka.
 

Berhasilkah Program Akselerasi Kita?

By wizardxboy
Jumat, 30 April 2004

Sejak tahun ajaran 1998/1999 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengadakan uji coba program akselerasi untuk anak berbakat intelektual. Dengan program ini, lama belajar siswa dapat dipercepat selama satu tahun pada setiap satuan pendidikan. Sekolah Dasar (SD) dari enam tahun dipercepat menjadi lima tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) dari tiga tahun menjadi masing-masing dua tahun. Peserta program ini adalah siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, kreatif, dan tanggung jawab terhadap tugas.

Dalam pelaksanaannya, ternyata ditemukan berbagai masalah. Seorang wakil kepala sekolah salah satu penyelenggara program ini pernah mengisahkan pengalamannya. Dia berujar, ''Selama pelaksanaan akselerasi di sekolah ini, saya menemukan beberapa hal yang aneh. Antara lain siswa terlihat kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul dan, tidak suka pada pelajaran olah raga. Mereka tegang seperti robot. Kami juga dapat laporan dari orang tua bahwa kini mereka sulit berkomunikasi dengan anaknya."

Hal itu, antara lain yang mendorong Nuraida untuk melakukan penelitian. Tim Peneliti Pusbangsitek Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini lebih menitikberatkan pada kecerdasan emosional siswa peserta akselerasi pada tingkat SMU. Dugaannya, kala itu, masalah ini terjadi karena tidak tercapainya salah satu tujuan program akselerasi, yaitu meningkatkan kecerdasan emosional.

Nuraida menuturkan, akselerasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah akselerasi yang berbasis kurikulum nasional. Tingkat SMU, misalnya, ada 13 mata pelajaran: Agama, IPS, PPKN, Bahasa dan Sastra Indonesia, sejarah nasional dan sejarah umum, bahasa Inggris, pendidikan jasmani dan kesehatan, matematika, fisika, kimia, biologi, geografi, olah raga dan seni rupa, ditambah dengan sejumlah ekstra kurikuler. Oleh karena itu, Indonesia memakai jenis akselerasi Telescoping curriculum dan Compacting curriculum.

Alasan pemilihan jenis ini agar siswa tidak meninggalkan salah satu pelajaran tersebut. Jadi siswa mendapatkan semua pelajaran dalam sistem pendidikan nasional. Tekniknya, dengan mengambil pelajaran yang esensial saja sedangkan materi-materi yang tidak esensial bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Tidak perlu tatap muka. Dengan cara seperti ini, siswa dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu lebih cepat.

Kenyataannya, terdapat kesulitan karena sistem pendidikan yang sentralistik. Jumlah pelajaran sangat banyak, namum belum ada layanan individual sesuai dengan bakat dan minat. Karena itu, harus mengakselerasikan 13 mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum nasional. Akibatnya siswa sangat merasa berat karena harus mempelajari semua mata pelajaran dalam waktu yang sangat cepat.

Ini berbeda dengan di Amerika. Di Negeri Paman Sam tersebut, jelas Nuraida, peserta didik yang mengikuti program akselerasi tidak diberikan semua mata pelajaran. Anak berbakat matematika memiliki kurikulum khusus di bidang matematika. Jumlah pelajaran pun tak banyak. Antara lain; computer science, Humanities, Math, science course dan writing course (www.Jhu/Gifted/teaching). Namun mereka mempelajarinya secara luas dan mendalam sekali.

Bagi siswa yang telah menguasai sejumlah pelajaran matematika pada satu tingkatan maka dia perbolehkan mempelajari matematika pada tingkat yang lebih lanjut. Misalnya loncat ke kelas yang lebih tinggi, belajar matematika pada tingkat universitas, kelas gabungan, telescoping kurikulum, dan sebagainya.

Begitulah pelaksanaan program akselerasi di negeri itu. Tujuannya, meningkatkan efisiensi, efektivitas, memberikan penghargaan, kesempatan untuk berkarir lebih cepat dan meningkatkan produktivitas. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena sistem pendidikan mereka sangat fleksibel. Artinya dalam sistem pendidikan mereka, pemerintah memberikan kebebasan kepada tiap negara bagian untuk mengelola pendidikan sesuai bakat dan minat. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu secara garis besar yang harus dimiliki oleh warga setelah lulus.

Jadi. kata Nuraida, bisa dipahami mengapa akselerasi yang dilaksanakan di Amerika berhasil dengan baik dan dalam waktu yang relatif cepat mampu menghasilkan sejumlah saintis. Kurikulum yang mereka kembangkan sangat fokus, tergantung pada bakat yang dimiliki oleh seorang anak. Anak yang berbakat matematika hanya memperdalam matematika dan pelajaran yang serumpun dengannya. Dengan cara ini akan memudahkan anak-anak menguasai pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Inilah teknik mencetak orang ahli dalam bidangnya.

Apakah tujuan pelaksanaan program akselerasi di Indonesia yang telah dirumuskan akan berhasil dengan menggunakan kurikulum nasional bermuatan 13 mata pelajaran? Penelitian Nuraida -- yang menitikberatkan pada aspek kecerdasan emosional -- tidak menemukan pengaruh yang berarti. Itu diketahui setelah melakukan tes kecerdasan emosional pada kelas akselerasi dan dibandingkan dengan siswa kelas reguler pada sekolah yang sama dan umur yang sama.

Hasil tes pengukuran kecerdasan emosional menunjukan bahwa skor kecerdasan emosional siswa akselerasi lebih rendah dari pada siswa reguler. Namun rendahnya tidak signifikan. ''Jadi bisa dikatakan sama dengan siswa kelas reguler,'' tuturnya.

Ini dapat disimpulkan bahwa program akselerasi Indonesia yang berbasis kurikulum nasional belum mencapai tujuan yang telah dirumuskan, seperti meningkatkan kecerdasan emosional. Siswa banyak yang stres, tegang, dan jarang komunikasi. Pada hal menurut hasil penelitian yang dihimpun oleh Barbara Clark (1982) tentang anak berbakat Matematika usia 12-13 tahun pada Universitas John Hopkins Amerika, jelas Nuraida, skor penyesuaian emosional dan sosial peserta program akselerasi di atas rata-rata.

Republika Online

 

Acceleration Class Program in Indonesia: Is It in the Right Track?

By wizardxboy
Dedy Gunawan

There have been higher concerns about providing adequate learning circumstances for gifted students in Indonesia. The Department of National Education has provided a legal regulation allowing schools to provide acceleration opportunities for gifted students. In section 5, article 4 of National Education System Act of 2003 it is stated that any citizen who has special talent and intelligence should get special education. Section 12, article 1 states that every learner in any grade level has the right to … (b) obtain educational services based upon their interest, talent, and ability; … (f) finish their grade based on how fast they could learn. The time they need to finish their study should not incompatible with the regulation (Depdiknas, 2003 p. 160). Quite surprisingly, in response to that regulation, many schools compete each others to open acceleration class. Acceleration class program is now becoming a trend in Indonesian primary and secondary schools (Kamdi, 2004).
In the area of gifted education, acceleration is a fashionable term. Toth (1999) identifies acceleration into the following definitions: ‘early admission, grade skipping, advancing to a higher grade of a specific subject area, early graduation, or concurrent enrolment in college’. Some other options of acceleration are continuous progress, content acceleration, testing out of course requirements, advanced course in school breaks or after hours, correspondence courses, advanced placement courses, dual enrolment, specially designed credit courses, and radical acceleration (Columbia, 1995). A lot of schools around the world choose and consider acceleration program as an appropriate way to fulfil the gifted children needs (Belcastro, 1998; Lambert, 2005; Toth, 1999). A survey in Iowa Public School districts in 1997 shows that 63.7 per cent public schools implement (moderate and radical) acceleration program for gifted students (Belcastro, 1998).
This essay would like to limit the meaning of acceleration class and ability grouping of Indonesian schools. When compared to Toth’s definition of acceleration, the acceleration program in Indonesian schools is not simply facilitating gifted children to accelerate. It is actually the combination between acceleration and ability grouping. Toth (1999) himself views acceleration and ability grouping as different strategies for meeting gifted children’s needs.
Kamdi (2004) states that acceleration program in Indonesia is only the different form of “excellent class program”(direct translation of program kelas unggulan, which is almost similar to ability grouping), which was introduced by the government previously in 1994, with an additional advantage: an opportunity to speed up. That is why the program is called “acceleration class program”, not acceleration program.
Acceleration class program in Indonesian schools, according to Akbar and Hawadi (2002), is generally in the form of grade skipping, where children could complete their study less than the normal time, which then leads into an early graduation and admission to higher educational level. Even though the regulation enables students to accelerate individually and in a particular subject, there is no evidence that schools give opportunity to students to speed up individually or in a certain subject (Akbar & Hawadi, 2002; Sawali, 2002).
The regulation requires schools to use multiple ways in selecting the gifted children. The methods of determining the students’ giftedness, based on the information book published by the Department of National Education, could be in the following ways: a) Academic records, students who have outstanding academic records might enter the acceleration class b) Students who get IQ test score of 140 or more, and c) Subjective information: self nomination, peers nomination, teachers nomination, parents nomination d) Not in sick condition because of an acute disease e) Approval from the parents and the students themselves (Depdiknas, 2006). However, most of Indonesian schools only use IQ test in grouping the students. The groups is, consequently, not subject but generic based grouping, where any children who are considered to have high intelligence is grouped in a class without regarding in what area they are strong (Kamdi, 2004; Sawali, 2002).
The question appearing from this condition is: Should schools in Indonesia separate gifted and not-gifted children with acceleration class programs? The proposition of this essay is that schools in Indonesia need to separate gifted and not gifted into regular and acceleration classes because gifted and not-gifted children have different needs. This essay is going to examine the proposition by involving community of inquiry that presents arguments for and against it, considering the evidences, and moral reasoning consisting of principles, agreements, virtuous and end consequences considerations within psychology, curriculum, and economic paradigms.

Psychology Paradigm
Different arguments involving approval and objection of acceleration class program under psychological paradigm are contested. Besides presenting evidence(s), moral implications involving principles, agreements, virtuous, and end consequences consideration are also used.
Gifted and not gifted children have different needs, talents, and academic capacity that, if it is not managed properly, will lead into psychological problems (Moore, 2005; NAGC, 2005). Moore (2005) in reporting Kingore’s (2001) and Richert’s (1997) study notes some behavioural problems of gifted children as the consequence of placing them at the same class with average students, such as ‘boredom with level-grade curriculum, inappropriate behavioural outburst or reactions, sloppy work, demanding of their parents’ and teacher’s attention, demanding of other students, inconsiderate of others needs/wants, and difficulty transitioning from one subject to the next during the school day’. National Association of Gifted Children of United State of America also declares that gifted children may suffer boredom from repetitious learning in heterogenous class (NAGC, 2005). Lambert (2005), furthermore, argues that gifted students may experience frustration, completely disinterested and drop out when they are not properly treated. Such behavioural problems, thereabouts, have become the main reasons for Indonesian schools to implement acceleration class program (Kamdi, 2004; Sawali, 2002).
On the contrary, a research done by Field et al. (1998) show an evidence that gifted children do not always have social behavioural problems in the class. The research found that
‘Gifted children perceived themselves as being more intimate with friends, assuming fewer family responsibilities, and taking more risks (both sports- and danger-related risks). Contrary to the literature suggesting delays in the social development of gifted students, these data indicates that gifted students may socially precocious when compared with non gifted peers’.

Leman (2006), then, argues that ‘there is not a lot of wisdom in pushing kids ahead, even kids who are gifted’. Leman believes that rather than pushing children through acceleration program, it is wiser for parents to be involved more deeply in teaching the children.
However, it is very important for Indonesian educators to understand the concept of giftedness before implementing the acceleration class program since the meaning of giftedness changes over time. For a long time giftedness has relied on nature assumption that gifted is born, not made (Dai & Coleman, 2005). At another moment gifted children are considered as fast learners who usually get high IQ scores (Columbia, 1995). Those meanings may still be appropriate to be the underlying principle of the Indonesian acceleration class, which is typically based upon IQ tests.
However nowadays, giftedness is not only about nature but also nurture (Dai & Coleman, 2005). It has more complex meanings and involves numerous number of attributes that IQ test alone could not comprehensively identify it (Columbia, 1995; Lambert, 2005). Rather than only using IQ and other standardised tests, teachers may have to see other evidences such as portfolios, group projects, performance-based assessments, or a summation of work displayed over time (Lambert, 2005). Moreover, Gardner (as cited in Columbia, 1995 p. 6), in the theory of multiple intelligence, identifies seven areas of capabilities ‘i.e. linguistics; logical-mathematical; spatial; bodily, kinaesthetic; musical; interpersonal intelligence; and intrapersonal intelligence’. This theory makes it clearly possible for a student to be gifted in only one or more particular areas.
When in principle, gifted children should be provided an appropriate learning situation to meet their unique needs, Indonesian teachers’ decision to engage them into acceleration class is actually in agreement with this principle. However, virtuous teachers do not only group gifted children based on a single test (e.g. IQ test). They must also research comprehensively their “individual giftedness” through longer and careful processes, and use more than one tool.
IQ test result alone may group them into another heterogonous class with more complex problems; e.g. children that are gifted in mathematics but bad in language are mixed with bad mathematics but good language children. Consequently, they may suffer from more stressful situation than if they are grouped with not gifted peers. It is better if teachers always communicate with the children and their families about any problems that may happen during their study. This continuous mutual interaction will bring a good agreement between them to solve the problems.

Curriculum Paradigm
Under the curriculum paradigm, some opinions about alternatives of curriculum used in teaching the gifted students in acceleration program are discussed. Evidence consideration and moral reasoning involving principles, agreements, virtuous and consequences, considerations are also used.
Toth (1999) recommends curriculum compacting to help gifted children meet their academic needs. In reporting Renzulli’s (1994) study, Toth states that ‘curriculum compacting is the modification or streamlining of the curriculum for those students who have demonstrated mastery of the curriculum content or who clearly have the potential to cover material in a fraction of the times their peers require’. Curriculum compacting is easy to implement in any grade level (Toth, 1999 p. 12). Toth’s recommendation implies that schools do not need to make new curriculum to fulfil the need of gifted children.
Similar to the above line of reasoning, Indonesian schools use similar curriculum to both accelerated and regular class. In order to accommodate the gifted children’s needs in acceleration, the Department of National Education allows schools to make modification to the national curriculum. The modification could be in these forms:
a) Time allocation is modified based on how fast the gifted students learn.
b) Teachers chose and skip materials within national and local curriculum.
c) Providing teaching and learning tools that support the fast pace of gifted children in learning.
d) Providing different learning situation.
e) Modifying classroom management that enables gifted students to learn in many ways: in pairs, individually, or in groups (Depdiknas, 2006).
Milner and Ford (2005), in contrast, argues that because the classes are different, the curriculum must be different. Gifted children need different curriculum not only because they are fast learner, but they are also learning differently (Tolan, 1990). Gifted children are those who are advanced in one or some areas. Some of them are very bright students but, at the same time, have learning problems, such as attention deficit disorders, learning disabilities, Asperger’s syndrome, deafness and so on (Tomlinson, 2005). Therefore, ‘because gifted learners vary considerably as a population, there is no single formula or template for curriculum and instruction that will serve all of them well’ (Tomlinson, 2005 p. 160). VanTassel-Baska and Stambaugh (2005 p. 212) emphasize that ‘In the current state of education, gifted students and other special populations may be sorely neglected … Differentiation of curriculum for gifted learning is a critical aspect of such planning’.
Betts (2004) suggests three levels of curriculum and instruction. Level one is called prescribed curriculum and instruction, which provides basic knowledge and skills for all children. The level of challenge and complexity in this level of curriculum are not appropriate for gifted children. Level two is teacher-differentiated curriculum, which includes advanced instruction and concept of differentiation and designed to meet the need of gifted children. In this level, the curriculum is developed by the teachers. Level three is learner-differentiated curriculum, where ‘the content area is selected by learners’ and it facilitates individual and self-directed learning processes. The attention is not only focused on cognitive, but also emotional and social development. Within these levels, there are two types of movement. The first is teachers’ movement from ‘dispenser of knowledge to facilitator of the learning process’. The second is students movement on the scale of learning from ‘the role of student to the role of learner’ (Betts, 2004).
The arguments of using either similar – with modification, or different curriculum seems all sensible and applicable. Since both options need teachers’ extra skills to modify or to create different curriculum, deeper attention to the teachers’ competence on curriculum development is needed. Failures in implementing acceleration program may come from the lack of teachers’ competences in the area of curriculum and instruction. As an evidence, Van Tassel-Baska’s and Stambaugh’s study (2005) notes some curriculum matters that teachers have is becoming the barriers in implementing the differentiation programs, including acceleration. They state teachers might be deficient in subject matter knowledge, classroom management skills, time management, administrative support, relevant pedagogical skills, and even knowledge of modifying curriculum.
Therefore, examined from moral reasoning, agreement between all stockholders of acceleration class program is the most critical in either modifying or developing the curriculum within acceleration program. The agreement should involve teachers, head teachers, expert of education and psychology, and most importantly, the students through, for example, continuous learning needs analyses. Without this agreement teachers might be trapped to use their instinct, which consequently, might bring bad impact to the students. Considering some problems previously stated by Van Tassel-Baska and Stambaugh, training should also be given to teachers. Without sufficient training, teachers may face difficulty in modifying or developing the curriculum that, again, will bring bad consequences to the students.
When in principle it is correct to provide different curriculum for the gifted students because they are different from not gifted ones, then in principle, both modifying and developing new curriculum are correct. Therefore, teachers or schools that provide different curriculum through either modifying or developing new one are virtuous. Virtuous teachers understand their students’ needs and always find a way to fulfil their needs.

Economic Paradigm
The simple key question to begin the discussion in economic paradigm is whether or not acceleration class program provides more economical education. In this paradigm, different assumptions are contested; evidences of both opinions are also presented. The essay also uses moral reasoning within this economic paradigm.
Kamdi (2004) states that acceleration class program in Indonesian schools is so expensive that the class is popularly known as an executive class. Some evidences show that acceleration classes cost more expensively than regular ones. In SMA N 78 Jakarta (Senior secondary school 78 Jakarta), according to Mustar (2006), each student should pay 24 million Rupiah every year compared to regular students who pay only 250 thousands Rupiah monthly. However, each student sitting in acceleration class is provided with one computer with access to the internet. They are taught by teachers who have international certificate of teaching. This differentiation makes acceleration class highly more expensive than that of regular class.
In Purwokerto, Central Java, as reported by Eviyanti (2006) from Pikiran Rakyat newspaper, junior secondary school students who sit in acceleration classes should pay their enrolment fee 10 to 12 million Rupiah, while those who go to regular class only pay 2 to 4 million Rupiah. The schools take more money from accelerated students because the program is purely funded by the parents. The government does not provide any subsidy to the class (Mustar, 2006).
In this situation, the parents are virtuous by spending larger number of money for their children. The schools are also virtuous for better facilities, curriculum and quality of teaching and learning they provide. However, schools may be trapped into commercial purposes. Therefore, it would be better if there is a harmony agreement between schools, parents, and the government. The government gives subsidies for the acceleration classes so that parents do not need spend too much money and the schools are still able to provide better quality of education.
Without the government support, the policy of acceleration class program may be biased. It gives benefit only for wealthy students but brings bad consequence to gifted children coming from poor families, due to lack of financial support, although they deserve to accept it. When based on section 31 of 1945 Indonesian Constitution every Indonesian citizen has right to get education, then, the governments decision not to subsidise acceleration class is wrong and, therefore, against this constitution principle.
Benbow, in his study in 1992 (cited in Toth, 1999, p. 7), on the contrary, states that ‘acceleration is an option with little or no financial impact; it is relatively easy to implement and greatly benefits some highly advanced students… because classrooms, materials, and teachers are already in the place’. From this statement, acceleration program, with or without ability grouping, in other part of the world is not expensive. It also implies in order to be more economical, teaching and learning sources like classrooms, materials, and teachers should be ready to support acceleration program so that schools do not need to provide different type of sources.
Another reason is because students need shorter time to graduate from school through grade skipping (Toth, 1999). While other students spend three years to graduate, accelerated students may only need two years. The money they spend also depends on the time they use to study. The shorter students go to school, the more economical they will be.
As an evidence, Georgia is a state that instructs schools to implement acceleration program because it is the most economical option to meet gifted children needs (Dugan, 2007). The position paper about acceleration of National Association of Gifted Children, an association in United State of America, also affirms that acceleration could be a successful strategy for students coming from low income families (NAGC, 2005).
Benbow’s study and the above evidences actually gives an important implication to the Indonesian acceleration program that if all schools in Indonesia could prepare acceleration class with this rationale, both rich and poor gifted students would get good consequence from this program. However, Indonesian schools’ decision to provide different classrooms, materials, and teachers indicate that those components are not ready yet to support gifted education. Therefore, further agreement between schools and government to build strong foundation – like good classrooms, materials, and teachers, is essential so that the program could bring benefits to both rich and poor gifted students.

Conclusion and Recommendation
Based on the examination of the three paradigms, the proposition stating that Indonesian schools need to separate gifted and not gifted, basically, is accepted. However, whether or not they are separated physically into regular and “acceleration class” is becoming a different matter. The following dots provide further explanation:
1) The psychology paradigm implies that, other than implementing “acceleration class program”, the schools need to see other alternatives of acceleration, such as content or subject acceleration, advanced courses, after school or school’s break school and others. Implementing acceleration class program alone, which could completely separate same age groups into different classes, might give worse psychological impact to the students.
2) Curriculum paradigm implies that Indonesian schools may choose to modify existing national or local curriculum, or develop new curriculum that best fit the needs of gifted children. However, teachers’ or educators’ readiness to make modification or new curriculum should have special attention. Evidences, as reported by Van Tassel-Baska’s and Stambaugh’s study (2005), show that failures in implementing gifted education program may come from the lack of teachers competence in curriculum area.
3) Viewed from economic paradigm, Indonesian schools need to evaluate the acceleration class program because it costs extremely expensive. There are actually a lot of ways the schools can take to make it more economical, such as government supports, source preparation, and again, implementing other types of acceleration. Schools should also be careful not to be trapped into commercial motivation pitfall.
Finally, this essay does not suggest Indonesian schools to eliminate the acceleration class program. It recommends that the schools need to evaluate the acceleration class program so that it could run properly based on the real needs of gifted children, becomes more economical and give less psychological impact to the gifted children. The schools may also need to see other types of acceleration. This essay also suggests the teachers to always improve their ability in curriculum development and modification, and instruction.

 

Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak

By wizardxboy

PROGRAM percepatan belajar (lebih sering disebut kelas akselerasi atau "kelas aksel") mengingatkan kita pada program sekolah unggulan yang didirikan tahun 1994, yang telah dinilai gagal karena ternyata di dalamnya banyak juga yang tidak unggul. "Kelas aksel" bisa disebut sebagai bentuk "reinkarnasi" sekolah unggulan. Dasar pemikirannya sama, yaitu peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa berhak mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasinya dan bakatnya. Dengan kata yang lebih klise, menyiapkan "pasukan para" calon pemimpin masa depan.

SEJAK pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar diluncurkan Depdiknas, sekolah-sekolah seperti "diwajibkan" membuat kelas khusus yang berisi anak-anak yang dinilai memiliki kecerdasan luar biasa (sebutlah kelas unggulan). Kenyataan di lapangan, "kelas aksel" juga tak terhindar dari penyimpangan, mulai dari proses perekrutan hingga pelayanannya (Kompas, 24 dan 26 Juli 2004). Kelas ini dilayani lebih istimewa, lebih khusus, terisolasi, lingkungan belajar yang lebih kaya daripada kelas biasa. Di beberapa tempat "kelas aksel" identik dengan kelas eksekutif karena ruangannya ber-AC dan perabot yang serba luks.

Sekilas, program ini niscaya. Ada beberapa alasan yang masuk akal. Pertama, alasan efisiensi sosial pragmatis penyelenggaraan pendidikan. Karena negara Indonesia yang sedemikian besar, dengan penduduk amat banyak, dililit masalah pengembangan sumber daya manusia, tetapi miskin dana untuk pendidikan, maka lebih baik mendayagunakan dana yang sedikit itu secara lebih signifikan untuk memacu anak-anak cerdas agar lahir kelompok elite yang andal untuk memperbaiki kondisi bangsa ini secara lebih cepat, ketimbang dana yang sedikit itu dibagi-ratakan ke semua anak tetapi dampaknya tidak signifikan. Akumulasi pelayanan pendidikan "yang lebih" itu seakan mengharap kita semua memahami pentingnya bangsa ini "segera" memiliki "pasukan para", meskipun prosesnya harus diskriminatif dengan harus mengorbankan sebagian besar anak yang lain yang juga punya hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terbaik.

Kedua, membuat kelas yang relatif homogen sehingga siswa yang merasa luar biasa (cerdas) tidak dirugikan oleh keterlambatan belajar siswa biasa. Sering dikeluhkan banyak guru, anak-anak cerdas di kelas heterogen cenderung merasa cepat bosan belajar dan cenderung mengganggu. Karena itu, anak-anak cerdas ini perlu mendapat layanan khusus di kelas yang terpisah dari kelas anak biasa. Dengan begitu, pengelolaan kelasnya menjadi lebih mudah.

Ketiga, memberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hak asasi untuk belajar lebih cepat sesuai dengan potensinya.

PERSOALANNYA, haruskah keniscayaan itu ditempuh dengan melakukan diskriminasi? Percepatan belajar (accelerated learning) sebagai sebuah metode atau strategi pembelajaran pada dasarnya mengakui bahwa setiap manusia memiliki cara belajar yang dapat mengantarkan dirinya menjadi yang terbaik.

Ketika seseorang belajar tentang sesuatu yang secara eksak sesuai (match) dengan gaya belajarnya, maka dia akan belajar dalam cara yang natural. Karena belajar berlangsung natural, maka menjadi lebih mudah. Karena menjadi lebih mudah, maka belajar menjadi lebih cepat. Itulah mengapa kemudian disebut accelerated learning. Artinya, prinsip percepatan belajar berlaku bagi semua siswa kategori apa pun, tidak hanya bagi kelompok siswa tertentu. Pijakan utama percepatan belajar adalah karakteristik siswa.

Jika kecerdasan dipakai sebagai alat identifikasian, maka- pada konteks ini-kecerdasan adalah semata-mata kategori untuk mengidentifikasi karakteristik siswa. Dengan demikian, sudah semestinya program percepatan belajar diberikan kepada kelompok siswa kategori apa pun. Jika sekolah akan melaksanakan program percepatan belajar berdasarkan identifikasian kecerdasan, maka harus ditujukan untuk semua anak sesuai dengan kecenderungan kategori kecerdasan mereka.

Identifikasian kecerdasan dengan skor IQ, seperti yang sekarang dilakukan banyak sekolah untuk membuat kelas yang disebut unggulan, telah membuat tindakan sekolah diskriminatif bahkan sesat dalam memberikan pelayan belajar siswa secara keseluruhan. Sebab, sekolah menganggap siswa yang tidak mencapai skor IQ 120 termasuk ke dalam kelompok siswa yang tak perlu mendapat pelayanan belajar lebih.

Implementasi program percepatan belajar versi Depdiknas yang didasarkan pada identifikasian skor IQ yang dilakukan sekolah saat ini akan menimbulkan dampak buruk. Pertama, menimbulkan kecemburuan karena perlakuan yang diskriminatif. Guru akan lebih banyak menaruh perhatian kepada kelas khusus ini ketimbang kelas biasa. Di satu sisi melindungi hak asasi anak yang dianggap luar biasa untuk mendapatkan pelayanan lebih, tetapi sesungguhnya di sisi lain juga terjadi pelanggaran hak asasi karena siswa biasa pun berhak mendapat pelayanan maksimal.

Kedua, menimbulkan rasa teralienasi (tersisihkan dari lingkungan sekolah) bagi sebagian besar siswa dikategorikan kurang cerdas, yang akan memicu rendahnya motivasi belajar, dan bahkan mungkin akan memicu perilaku menyimpang karena mereka merasa karakternya telah terbunuh oleh sistem kelas yang diciptakan sekolah.

Ketiga, demikian sebaliknya, ada peluang bagi sebagian siswa yang termasuk ke dalam kelas unggulan akan berperilaku egois, angkuh, dan cenderung tidak mau mendengar pendapat orang lain. Testimoni kepada beberapa orangtua yang anak-anaknya pernah termasuk ke dalam kelas cepat di SMA PPSP tahun 1980-an menampakkan gejala-gejala psikologis seperti itu.

TEORI baru telah menunjukkan bahwa kecerdasan berdimensi majemuk. Teori multiple intelligences Howard Gardner yang telah teruji secara empiris di dalam kelas, yang juga didukung temuan-temuan di bidang neuro science tentang fungsi otak kanan dan otak kiri, adalah teori baru yang layak dijadikan landasan teori untuk membuat kategori kecerdasan siswa.

Gardner telah mengidentifikasi kecenderungan kecerdasan manusia menjadi sembilan jenis, yaitu linguistik, logiko-matematikal, musikal, spasial-visual, kinestetik-jasmani, intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan spiritual atau eksistensial. Orang yang kurang cerdas di bidang logiko-matematikal mungkin cerdas luar biasa di bidang musik, mungkin kinestetik, mungkin spasial-visual. Sementara identifikasi kecerdasan anak yang didasarkan pada skor IQ, notabene hanya mengukur kecerdasan logika-matematikal dan sedikit linguistik. Oleh karena itu, identifikasian kecerdasan luar biasa yang hanya ditentukan berdasarkan skor IQ hanya mengukur dua dimensi saja.

Betapa indahnya sekolah jika dapat melayani semua karakteristik siswa sesuai dengan kecenderungan kecerdasannya secara optimal. Tidak hanya sekelompok kecil siswa yang cerdas logiko-matimatikal saja yang mendapat pelayanan khusus, tetapi juga kelompok-kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan yang lain. Pelayanan secara berbeda tetapi sama-sama optimal bukanlah diskriminasi yang terjadi, tetapi keniscayaan bagi semua siswa. Oleh karena itu, sekolah-sekolah yang telah membuat kelas unggulan versi Depdiknas itu perlu meninjau ulang sebelum program itu menambah daftar panjang masalah pendidikan kita yang tak henti-henti dirundung masalah.

Waras Kamdi Kepala Pusat Kurikulum, Pengembangan Pembelajaran dan Evaluasi LP3 Universitas Negeri Malang

 

Kelas Akselerasi Bisa Perkosa Perkembangan Anak Didik

By wizardxboy

Malang, Kompas - Perwujudan kelas akselerasi harus dilakukan secara saksama, sehingga benar-benar bisa mendorong perkembangan anak berbakat secara optimal dan tuntas. Jangan malah memperkosa perkembangan kepribadian anak. Hal itu dikemukakan pakar pendidikan Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) Dr Hendyat Sutopo kepada Kompas di Malang, Kamis (30/5).

Pada hakikatnya kelas akselerasi harus dibedakan dengan kelas khusus anak berbakat. Kelas khusus itu hanya mengumpulkan anak-anak keberbakatan dan memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam satu kelas. "Kalau ini gampang dikelola. Yang penting anak pintar dikumpulkan, dijejali materi pelajaran agar waktu belajarnya lebih cepat selesai. Yang mestinya selesai tiga tahun menjadi dua tahun, misalnya," katanya.

Kelas akselerasi itu bukan merupakan kelas khusus, tetapi tetap kelas reguler dengan murid yang memiliki tingkat kemampuan dan keberbakatan heterogen. Murid-murid itu secara individual diberi kesempatan untuk berkembang sesuai kemampuan, kecepatan, dan irama belajarnya. Biarkan anak di sekolah mengeluarkan kemampuannya secara maksimal. Yang penting tuntas.

"Jadi, tes hasil belajar tidak harus dilakukan secara serentak. Kalau ada murid yang sudah siap, seorang guru harus melayani. Anak mendapat program pengayaan. Dengan demikian, kalau anak selesai dengan waktu lebih cepat, hal itu bukan karena paksaan, tetapi berjalan apa adanya atau alamiah," katanya.

Yang penting, kelas akselerasi harus didasarkan paradigma bahwa anak harus berkembang secara optimal segala aspek secara alamiah. Tidak cukup hanya aspek pengetahuan, tetapi juga aspek emosional, dan sosial.

"Inilah yang rawan kalau kelas akselerasi dipahami seperti kelas khusus. Bisa jadi pengelola akan berbuat apa saja, yang penting proses belajar-mengajar selesai lebih cepat. Yang mestinya tiga tahun bisa rampung dua tahun, sehingga bisa mengikuti ujian akhir nasional (UAN) atau ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN)," katanya.

Percepatan waktu demikian mudah dicapai. Ia mencontohkan bagaimana pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) yang seharusnya untuk satu caturwulan, bisa diselesaikan dalam waktu satu hari untuk anak-anak yang dipersiapkan ke Olimpiade MIPA.

Akan tetapi, menurut dia, sekolah lantas seperti kursus belaka. Anak hanya dijejali pengetahuan. Ini jelas menyalahi hakikat pendidikan yang mengembangkan anak secara keseluruhan, baik emosional, intelektual, sosial, maupun keterampilan. Pola pendidikan yang demikian akan menimbulkan masalah kepribadian.

Hendyat mencontohkan sistem pendidikan Program Pendidikan Sekolah Perintis (PPSP) yang pernah dikelola IKIP Malang. Proses belajarnya menggunakan sistem modul. Anak terbukti mampu mengakselerasi proses belajarnya, namun ternyata anak mengalami masalah sosial dan emosional. Misalnya, anak hanya berkumpul dengan anak pandai. Tatkala melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, harus berada satu kelas dengan murid yang usianya lebih banyak, ternyata anak mengalami hambatan proses sosialisasi.

Ia mengingatkan, kelas akselerasi banyak hambatan karena menyangkut sistem di luarnya. Ia mencontohkan, anak yang selesai 2,5 tahun di bangku sekolah menengah umum (SMU). Apakah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mau mengeluarkan ijazah pada semester ganjil. Anak harus menunggu pula untuk masuk perguruan tinggi negeri, karena UMPTN atau seleksi masuk PTN dilakukan setahun sekali. Demikian pula anak sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) yang selesai 2,5 tahun, tetap harus menunggu untuk melanjutkan ke SMU.

Untuk itulah, pengadaan kelas akselerasi harus disertai dengan kebijakan Depdiknas terhadap sistem pendidikan nasional. Misalnya, mau mengeluarkan ijazah pada semester ganjil. Memberikan fasilitas kelanjutan jenjang pendidikan secara berkesinambungan. "Janganlah kelas akselerasi menimbulkan kekecewaan kepada anak," katanya.