Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak
PROGRAM percepatan belajar (lebih sering disebut kelas akselerasi atau "kelas aksel") mengingatkan kita pada program sekolah unggulan yang didirikan tahun 1994, yang telah dinilai gagal karena ternyata di dalamnya banyak juga yang tidak unggul. "Kelas aksel" bisa disebut sebagai bentuk "reinkarnasi" sekolah unggulan. Dasar pemikirannya sama, yaitu peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa berhak mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasinya dan bakatnya. Dengan kata yang lebih klise, menyiapkan "pasukan para" calon pemimpin masa depan.
SEJAK pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar diluncurkan Depdiknas, sekolah-sekolah seperti "diwajibkan" membuat kelas khusus yang berisi anak-anak yang dinilai memiliki kecerdasan luar biasa (sebutlah kelas unggulan). Kenyataan di lapangan, "kelas aksel" juga tak terhindar dari penyimpangan, mulai dari proses perekrutan hingga pelayanannya (Kompas, 24 dan 26 Juli 2004). Kelas ini dilayani lebih istimewa, lebih khusus, terisolasi, lingkungan belajar yang lebih kaya daripada kelas biasa. Di beberapa tempat "kelas aksel" identik dengan kelas eksekutif karena ruangannya ber-AC dan perabot yang serba luks.
Sekilas, program ini niscaya. Ada beberapa alasan yang masuk akal. Pertama, alasan efisiensi sosial pragmatis penyelenggaraan pendidikan. Karena negara Indonesia yang sedemikian besar, dengan penduduk amat banyak, dililit masalah pengembangan sumber daya manusia, tetapi miskin dana untuk pendidikan, maka lebih baik mendayagunakan dana yang sedikit itu secara lebih signifikan untuk memacu anak-anak cerdas agar lahir kelompok elite yang andal untuk memperbaiki kondisi bangsa ini secara lebih cepat, ketimbang dana yang sedikit itu dibagi-ratakan ke semua anak tetapi dampaknya tidak signifikan. Akumulasi pelayanan pendidikan "yang lebih" itu seakan mengharap kita semua memahami pentingnya bangsa ini "segera" memiliki "pasukan para", meskipun prosesnya harus diskriminatif dengan harus mengorbankan sebagian besar anak yang lain yang juga punya hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terbaik.
Kedua, membuat kelas yang relatif homogen sehingga siswa yang merasa luar biasa (cerdas) tidak dirugikan oleh keterlambatan belajar siswa biasa. Sering dikeluhkan banyak guru, anak-anak cerdas di kelas heterogen cenderung merasa cepat bosan belajar dan cenderung mengganggu. Karena itu, anak-anak cerdas ini perlu mendapat layanan khusus di kelas yang terpisah dari kelas anak biasa. Dengan begitu, pengelolaan kelasnya menjadi lebih mudah.
Ketiga, memberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hak asasi untuk belajar lebih cepat sesuai dengan potensinya.
PERSOALANNYA, haruskah keniscayaan itu ditempuh dengan melakukan diskriminasi? Percepatan belajar (accelerated learning) sebagai sebuah metode atau strategi pembelajaran pada dasarnya mengakui bahwa setiap manusia memiliki cara belajar yang dapat mengantarkan dirinya menjadi yang terbaik.
Ketika seseorang belajar tentang sesuatu yang secara eksak sesuai (match) dengan gaya belajarnya, maka dia akan belajar dalam cara yang natural. Karena belajar berlangsung natural, maka menjadi lebih mudah. Karena menjadi lebih mudah, maka belajar menjadi lebih cepat. Itulah mengapa kemudian disebut accelerated learning. Artinya, prinsip percepatan belajar berlaku bagi semua siswa kategori apa pun, tidak hanya bagi kelompok siswa tertentu. Pijakan utama percepatan belajar adalah karakteristik siswa.
Jika kecerdasan dipakai sebagai alat identifikasian, maka- pada konteks ini-kecerdasan adalah semata-mata kategori untuk mengidentifikasi karakteristik siswa. Dengan demikian, sudah semestinya program percepatan belajar diberikan kepada kelompok siswa kategori apa pun. Jika sekolah akan melaksanakan program percepatan belajar berdasarkan identifikasian kecerdasan, maka harus ditujukan untuk semua anak sesuai dengan kecenderungan kategori kecerdasan mereka.
Identifikasian kecerdasan dengan skor IQ, seperti yang sekarang dilakukan banyak sekolah untuk membuat kelas yang disebut unggulan, telah membuat tindakan sekolah diskriminatif bahkan sesat dalam memberikan pelayan belajar siswa secara keseluruhan. Sebab, sekolah menganggap siswa yang tidak mencapai skor IQ 120 termasuk ke dalam kelompok siswa yang tak perlu mendapat pelayanan belajar lebih.
Implementasi program percepatan belajar versi Depdiknas yang didasarkan pada identifikasian skor IQ yang dilakukan sekolah saat ini akan menimbulkan dampak buruk. Pertama, menimbulkan kecemburuan karena perlakuan yang diskriminatif. Guru akan lebih banyak menaruh perhatian kepada kelas khusus ini ketimbang kelas biasa. Di satu sisi melindungi hak asasi anak yang dianggap luar biasa untuk mendapatkan pelayanan lebih, tetapi sesungguhnya di sisi lain juga terjadi pelanggaran hak asasi karena siswa biasa pun berhak mendapat pelayanan maksimal.
Kedua, menimbulkan rasa teralienasi (tersisihkan dari lingkungan sekolah) bagi sebagian besar siswa dikategorikan kurang cerdas, yang akan memicu rendahnya motivasi belajar, dan bahkan mungkin akan memicu perilaku menyimpang karena mereka merasa karakternya telah terbunuh oleh sistem kelas yang diciptakan sekolah.
Ketiga, demikian sebaliknya, ada peluang bagi sebagian siswa yang termasuk ke dalam kelas unggulan akan berperilaku egois, angkuh, dan cenderung tidak mau mendengar pendapat orang lain. Testimoni kepada beberapa orangtua yang anak-anaknya pernah termasuk ke dalam kelas cepat di SMA PPSP tahun 1980-an menampakkan gejala-gejala psikologis seperti itu.
TEORI baru telah menunjukkan bahwa kecerdasan berdimensi majemuk. Teori multiple intelligences Howard Gardner yang telah teruji secara empiris di dalam kelas, yang juga didukung temuan-temuan di bidang neuro science tentang fungsi otak kanan dan otak kiri, adalah teori baru yang layak dijadikan landasan teori untuk membuat kategori kecerdasan siswa.
Gardner telah mengidentifikasi kecenderungan kecerdasan manusia menjadi sembilan jenis, yaitu linguistik, logiko-matematikal, musikal, spasial-visual, kinestetik-jasmani, intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan spiritual atau eksistensial. Orang yang kurang cerdas di bidang logiko-matematikal mungkin cerdas luar biasa di bidang musik, mungkin kinestetik, mungkin spasial-visual. Sementara identifikasi kecerdasan anak yang didasarkan pada skor IQ, notabene hanya mengukur kecerdasan logika-matematikal dan sedikit linguistik. Oleh karena itu, identifikasian kecerdasan luar biasa yang hanya ditentukan berdasarkan skor IQ hanya mengukur dua dimensi saja.
Betapa indahnya sekolah jika dapat melayani semua karakteristik siswa sesuai dengan kecenderungan kecerdasannya secara optimal. Tidak hanya sekelompok kecil siswa yang cerdas logiko-matimatikal saja yang mendapat pelayanan khusus, tetapi juga kelompok-kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan yang lain. Pelayanan secara berbeda tetapi sama-sama optimal bukanlah diskriminasi yang terjadi, tetapi keniscayaan bagi semua siswa. Oleh karena itu, sekolah-sekolah yang telah membuat kelas unggulan versi Depdiknas itu perlu meninjau ulang sebelum program itu menambah daftar panjang masalah pendidikan kita yang tak henti-henti dirundung masalah.
Waras Kamdi Kepala Pusat Kurikulum, Pengembangan Pembelajaran dan Evaluasi LP3 Universitas Negeri Malang